Memahami Penggunaan Gelar Haji dan Hajah: Antara Aturan, Bahasa, dan Sejarah di Indonesia
Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia, berbondong-bondong menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari Tanah Suci, banyak di antara mereka yang kemudian menyematkan gelar "Haji" atau "Hajah" di depan nama mereka. Penggunaan gelar ini merupakan bentuk penghormatan atas telah ditunaikannya rukun Islam kelima.
Namun, penggunaan gelar Haji dan Hajah kerap kali menimbulkan pertanyaan. Bagaimana penulisan yang benar menurut kaidah bahasa dan aturan yang berlaku? Bagaimana pula sejarah munculnya tradisi penggunaan gelar ini di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita telaah lebih lanjut.
Penulisan Gelar Haji dan Hajah Sesuai Aturan
Gelar "Haji" untuk laki-laki dan "Hajah" untuk perempuan termasuk dalam kategori gelar keagamaan. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan memberikan pedoman terkait pencantuman gelar keagamaan. Gelar keagamaan seperti Haji dan Hajah diperbolehkan dicantumkan dalam dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el).
Kendati demikian, Permendagri tersebut secara tegas melarang pencantuman gelar keagamaan dalam akta pencatatan sipil. Akta pencatatan sipil yang dimaksud meliputi Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, hingga Akta Pengakuan Anak. Dalam dokumen-dokumen tersebut, nama seseorang harus dituliskan tanpa embel-embel gelar.
Dari sudut pandang kebahasaan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) mengatur bahwa penulisan gelar Haji dan Hajah diletakkan di depan nama lengkap seseorang. Gelar tersebut juga dapat disingkat, yaitu "H." untuk Haji dan "Hj." untuk Hajah. Contoh penulisan yang benar adalah "H. Ahmad" atau "Hj. Fatimah".
Sejarah Panjang Gelar Haji dan Hajah di Indonesia
Penggunaan gelar Haji dan Hajah di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Akar sejarahnya dapat ditelusuri dari tiga perspektif, yaitu:
- Perspektif Keagamaan: Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi umat Muslim yang mampu. Perjalanan yang jauh, biaya yang tidak sedikit, dan persyaratan yang cukup rumit menjadikan ibadah haji sebagai ibadah yang istimewa. Oleh karena itu, penyematan gelar Haji dan Hajah dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah berhasil menunaikan ibadah tersebut.
- Perspektif Budaya: Tradisi penyematan gelar Haji dan Hajah berkembang seiring dengan cerita-cerita inspiratif dan pengalaman emosional yang dibagikan oleh para jemaah haji setelah kembali ke tanah air. Banyak tokoh masyarakat dan pemimpin lokal yang menyandang gelar tersebut, sehingga gelar haji kemudian menjadi simbol status sosial dan religius yang tinggi di masyarakat Indonesia.
- Perspektif Kolonial: Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial menggunakan gelar haji sebagai alat untuk mengawasi pergerakan jemaah haji asal Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mendirikan Konsulat Jenderal di Arab pada tahun 1872 untuk mencatat pergerakan jemaah dan mewajibkan mereka mengenakan atribut serta menyandang gelar haji agar mudah dikenali. Kebijakan inilah yang kemudian melanggengkan tradisi penggunaan gelar haji di Nusantara.
Dengan memahami aturan penulisan dan sejarahnya, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dan tepat dalam menggunakan gelar Haji dan Hajah. Gelar tersebut hendaknya dimaknai sebagai pengingat akan kewajiban agama dan semangat untuk terus meningkatkan kualitas diri sebagai seorang Muslim.