Sengketa Kepulauan Aceh-Sumut Mencuat: Akar Historis Jadi Sorotan Utama
Polemik wilayah yang melibatkan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara memasuki babak baru. Sengketa ini kembali mencuat setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memasukkan Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini menuai reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari Pemerintah Provinsi Aceh yang mengklaim memiliki dasar historis yang kuat atas kepulauan tersebut.
Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI, turut memberikan pandangannya terkait sengketa ini. Beliau menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek historis dalam menentukan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 menjadi landasan hukum yang jelas dalam menetapkan batas wilayah Aceh. Undang-undang ini lahir sebagai konsekuensi dari pemberontakan DI/TII di Aceh, yang kemudian mendorong pembentukan provinsi otonomi khusus.
JK menjelaskan bahwa perjanjian Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005 juga merujuk pada batas wilayah Aceh sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Nomor 24 Tahun 1956. Poin 1.1.4 dalam perjanjian tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa perbatasan Aceh mengacu pada perbatasan 1 Juli 1956. Dengan demikian, dasar hukum yang kuat telah melegitimasi wilayah Aceh, termasuk empat pulau yang kini menjadi sengketa.
Menurut JK, Kepmendagri yang menjadi pemicu konflik ini memiliki cacat formil karena bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi kedudukannya. Alasan kedekatan geografis pulau-pulau tersebut dengan Sumatera Utara tidak bisa menjadi dasar utama dalam penentuan wilayah. JK mencontohkan kasus serupa di Sulawesi Selatan, di mana terdapat pulau yang lebih dekat dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) namun tetap menjadi bagian dari Sulawesi Selatan. Logika yang sama seharusnya diterapkan dalam kasus sengketa Aceh-Sumatera Utara, dengan mengedepankan aspek historis dan legalitas.
JK juga menanggapi usulan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, terkait pengelolaan bersama empat pulau tersebut. Menurutnya, konsep pengelolaan wilayah secara bersama-sama oleh dua pemerintah daerah berbeda belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini akan menimbulkan kerumitan dalam berbagai aspek, seperti administrasi, perpajakan, dan pengelolaan sumber daya.
Menyikapi polemik yang berkembang, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana melakukan kajian ulang terhadap permasalahan ini. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyampaikan bahwa kajian ulang akan dilakukan dengan mempertimbangkan data dan informasi yang lebih akurat dan komprehensif dari semua pihak terkait. Aspek historis dan realitas kultural juga akan menjadi fokus utama dalam pengkajian, selain peta geografis. Mendagri juga berencana mengundang para kepala daerah, tokoh masyarakat, dan perwakilan dari DPR dari kedua provinsi untuk mendapatkan masukan dan mencari solusi terbaik bagi semua pihak.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam sengketa ini:
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956: Landasan hukum utama yang menetapkan batas wilayah Aceh dan menjadi acuan dalam perjanjian Helsinki.
- Aspek Historis: Pertimbangan penting dalam penentuan wilayah, selain faktor geografis.
- Perjanjian Helsinki: Merujuk pada batas wilayah Aceh yang ditetapkan dalam UU Nomor 24 Tahun 1956.
- Kajian Ulang Kemendagri: Upaya untuk mencari solusi terbaik dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan.
- Kepentingan Masyarakat: Prioritas utama dalam penyelesaian sengketa ini.