Petani Ikan Jawa Barat Bersatu Hadapi Jeratan Tengkulak Melalui Wadah Komunitas Bioflok
Para petani ikan di Jawa Barat kerap kali menghadapi tantangan berat akibat praktik tengkulak yang merugikan. Harga jual ikan dari petani ditekan serendah mungkin, sementara harga di pasaran melambung tinggi, menciptakan kesenjangan yang merugikan pembudidaya ikan.
Menyadari permasalahan ini, para petani ikan di Jawa Barat kini bersatu melalui pembentukan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Jawa Barat dari Komunitas Bioflok Indonesia. Langkah ini bertujuan untuk menaungi para petani ikan yang menerapkan teknologi budidaya intensif berbasis sistem bioflok. Peresmian DPW ini dilakukan di MrBfarm, Sawangan, Depok, pada hari Sabtu, 14 Juni 2025.
Indra, Pembina Bioflok Indonesia, menyampaikan bahwa inisiatif ini diharapkan dapat memutus rantai tengkulak yang selama ini mencekik para petani. "Kami ingin semua transaksi jual beli terpusat melalui koperasi yang kami bentuk," ujarnya. Tujuan utama dari pembentukan koperasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani ikan, yang selama ini seringkali memulai usaha budidaya tanpa bimbingan yang memadai dan menjadi korban praktik tengkulak.
Dengan adanya sistem koperasi yang terintegrasi, diharapkan petani ikan dapat memperoleh harga jual yang lebih adil dan layak, berkisar antara Rp 28.000 hingga Rp 30.000 per kilogram. Harga ini jauh lebih baik dibandingkan dengan harga konvensional yang hanya berkisar antara Rp 18.000 hingga Rp 22.000 per kilogram.
Salah satu keunggulan dari sistem budidaya yang diterapkan oleh komunitas ini adalah penggunaan teknologi bioflok. Teknologi ini memungkinkan budidaya ikan secara intensif dengan pengendalian yang ketat terhadap berbagai aspek. Berbeda dengan sistem konvensional yang sangat bergantung pada kondisi alam, sistem bioflok menawarkan kualitas ikan yang lebih baik dan ramah lingkungan. Indra menjelaskan bahwa ikan hasil budidaya bioflok tidak berbau tanah, karena sistem ini mampu mengontrol produksi gas geosmin yang dihasilkan oleh ganggang di air.
Sistem ini juga sangat cocok diterapkan di wilayah perkotaan seperti Depok dan Bogor, yang memiliki akses dekat ke pasar-pasar besar seperti Jakarta. Hal ini akan membuat distribusi ikan menjadi lebih efisien dan cepat.
Deklarasi DPW Jawa Barat juga menandai dimulainya pembangunan pusat pelatihan bagi para petani ikan, khususnya bagi mereka yang baru memulai usaha budidaya. Pelatihan ini diberikan secara gratis dan rutin diadakan secara online setiap bulan. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan agar para petani dapat berhasil dalam budidaya ikan.
Biaya pembangunan kolam bioflok juga relatif terjangkau, yaitu sekitar Rp 1 juta per meter kubik. Dengan dana sekitar Rp 17 juta, petani sudah dapat membangun kolam berukuran 17 meter kubik yang dilengkapi dengan peralatan seperti genset, pipa, dan blower oksigen.
Indra juga menyoroti bahwa program pemerintah untuk budidaya ikan seringkali tidak tepat sasaran. Bantuan yang diberikan seringkali mangkrak karena dikelola oleh kelompok tani yang tidak berpengalaman atau oleh kontraktor yang tidak memahami budidaya ikan.
"Kami ingin diajak bicara. Pemerintah jangan hanya memberikan bantuan 10 atau 20 kolam kepada kelompok yang belum pernah budidaya. Itu yang membuat gagal. Jika berkolaborasi dengan kami, kami dapat membantu penyuluhan dan memastikan bantuannya tepat sasaran," tegas Indra.
Indra meyakini bahwa dengan pendekatan yang tepat dan teknologi yang efisien, budidaya ikan, khususnya ikan nila, dapat menjadi pilar penting dalam ketahanan pangan nasional. "Ikan nila ini seperti ayam broiler-nya perikanan. Protein murah, ramah lingkungan, dan pasarnya besar," pungkasnya.