Wacana Rumah Subsidi Mini: Pengamat Khawatirkan Potensi Lahirnya Kawasan Kumuh Baru
Polemik Rumah Subsidi 14 Meter Persegi: Ancaman Kawasan Kumuh dan Kualitas Hidup
Wacana pemerintah untuk merevisi aturan luas minimum rumah subsidi menuai kritik tajam dari berbagai pengamat properti. Usulan desain rumah subsidi dengan luas hanya 14 meter persegi dinilai berpotensi memicu permasalahan sosial dan tata ruang yang serius, bahkan dikhawatirkan justru menciptakan kawasan kumuh baru.
Pengamat properti, Lukito Nugroho, menegaskan bahwa ukuran 14 meter persegi jauh dari standar layak huni yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yaitu 9 meter persegi per orang. Ia khawatir, jika usulan ini direalisasikan, akan berdampak buruk pada penataan kota dalam jangka panjang. Alih-alih mengatasi masalah permukiman kumuh, kebijakan ini justru berpotensi melanggengkan kondisi tersebut.
"Tujuan awal adalah memindahkan masyarakat dari permukiman kumuh ke hunian yang lebih layak. Namun, dengan ukuran yang sangat kecil, kita justru membuka peluang terciptanya kembali lingkungan yang serupa," ungkap Lukito.
Dampak Negatif Rumah Subsidi Mini:
- Tata Kota Semrawut: Rumah-rumah berukuran mini akan menyulitkan penataan kota yang rapi dan teratur. Belum lagi jika setiap rumah dilengkapi dengan carport, ruang yang dibutuhkan akan semakin besar dan tidak proporsional.
- Tidak Layak Huni Jangka Panjang: Rumah dengan luas 14 meter persegi dinilai tidak ideal untuk ditinggali dalam jangka waktu yang lama, terutama bagi keluarga yang berpotensi bertambah anggotanya. Kondisi ini dapat memicu terjadinya rumah kosong dan terbengkalai di masa depan.
- Kepadatan Penduduk Tinggi dan Masalah Sosial: Rumah berukuran kecil berpotensi diisi oleh terlalu banyak orang, sehingga menciptakan kepadatan penduduk yang tinggi dan memicu berbagai masalah sosial, seperti kriminalitas dan sanitasi yang buruk.
- Kenyamanan Mental Terganggu: Penghuni rumah berukuran sempit akan merasa tidak nyaman secara mental dan kebutuhan akan tempat tinggal yang layak dalam jangka panjang tidak terpenuhi.
Lukito menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pembangunan hunian vertikal, seperti apartemen, sebagai solusi keterbatasan lahan di wilayah perkotaan seperti Jabodetabek. Hunian vertikal dinilai lebih efisien dalam penggunaan lahan dan dapat menampung lebih banyak orang.
Senada dengan Lukito, pengamat properti Ali Tranghanda juga mengungkapkan kekhawatiran serupa. Ia menilai rumah berukuran 14 meter persegi akan menciptakan lingkungan yang padat penduduk dan berpotensi menimbulkan masalah sosial yang kompleks. Kawasan yang seharusnya ideal untuk 100 kepala keluarga, bisa dipadati hingga 200 kepala keluarga.
"Ujung-ujungnya nanti ada masalah sosial, masalah crowded, kumuh, kriminal segala macam. Itu ke depannya nggak akan bagus gitu loh," tegas Ali.
Ali menambahkan bahwa penyediaan rumah subsidi tidak hanya harus memenuhi aspek fisik, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga yang akan menghuninya. Ia menilai wacana rumah subsidi mini ini sebagai sebuah kemunduran dalam upaya penyediaan rumah rakyat yang layak.
"Kalau kayak gitu, itu nggak akan tercapai. Malah saya bilang ini indikasi kemunduran dalam penyediaan rumah rakyat," tuturnya.
Ali sepakat bahwa hunian vertikal low-rise bisa menjadi solusi yang lebih baik jika pemerintah terkendala masalah lahan dan tingginya harga tanah.