Pengakuan dan Penyesalan Habibie Atas Tragedi Mei 1998: Kontras dengan Klaim Fadli Zon Tentang Rumor Kekerasan Seksual

Tragedi Mei 1998, sebuah lembaran kelam dalam sejarah bangsa Indonesia, meninggalkan luka mendalam terutama bagi para korban kekerasan seksual. Di tengah transisi menuju era reformasi, Presiden BJ Habibie pada 15 Juli 1998, secara resmi menyampaikan pernyataan yang mengakui dan menyesali terjadinya pemerkosaan serta bentuk-bentuk kekerasan lain terhadap perempuan. Pernyataan tersebut, yang kini diabadikan dalam prasasti di Komnas Perempuan, menjadi simbol komitmen negara untuk melindungi warganya dari segala bentuk kekerasan.

Habibie, atas nama negara, tidak hanya menyampaikan penyesalan mendalam, tetapi juga menjanjikan perlindungan keamanan bagi seluruh masyarakat. Ia mengutuk keras tindakan kekerasan dan kerusuhan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan, serta menyerukan kewaspadaan dan pelaporan segera jika menyaksikan tindakan serupa. Pernyataan ini menjadi landasan penting bagi pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998, yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024. Komnas Perempuan, sebagai "Anak Sulung Reformasi", mengemban tugas monumental untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.

Namun, narasi yang berbeda muncul dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Dalam sebuah wawancara, Fadli Zon mengklaim bahwa peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998 tidak memiliki bukti dan hanya berdasar pada rumor. Klaim ini bertentangan dengan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang dibentuk oleh pemerintah dan beranggotakan unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan ormas lainnya. TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya, yang meliputi:

  • Pemerkosaan (52 korban)
  • Pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang)
  • Penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang)
  • Pelecehan seksual (9 orang)

Laporan TGPF ini menjadi dasar pengakuan resmi negara atas kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang kemudian diwujudkan dalam pembentukan Komnas Perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menyayangkan pernyataan Fadli Zon yang menyebut fakta ini sebagai rumor. Ia menekankan bahwa penyangkalan ini menyakitkan bagi para korban dan memperpanjang impunitas. Dahlia Madanih mengingatkan bahwa dokumen TGPF dan pengakuan Presiden Habibie adalah produk resmi negara, dan menyangkalnya berarti mengabaikan upaya kolektif bangsa dalam mencari keadilan. Sikap seperti itu, menurutnya, justru menghambat pemulihan yang tulus dan menyeluruh bagi para penyintas.

Kontradiksi antara pengakuan negara melalui Habibie dan laporan TGPF dengan klaim Fadli Zon memunculkan pertanyaan serius tentang bagaimana sejarah tragedi Mei 1998 akan diingat dan dipelajari. Bagi para korban dan aktivis HAM, pengakuan dan penyesalan negara merupakan langkah penting dalam proses penyembuhan dan rekonsiliasi. Sementara itu, upaya meremehkan atau menyangkal fakta kekerasan seksual hanya akan memperburuk luka lama dan menghalangi upaya menciptakan keadilan bagi para korban.