Raja Ampat di Persimpangan Jalan: Belajar dari Kutukan Sumber Daya Alam Nauru
Indonesia, khususnya wilayah Raja Ampat, berada di persimpangan jalan yang menentukan. Kisah tragis Nauru, sebuah negara pulau kecil di Pasifik, menjadi cermin peringatan tentang bahaya "kutukan sumber daya" yang bisa menghantui wilayah yang kaya akan sumber daya alam.
Nauru, yang merdeka pada tahun 1968, sempat menikmati kemakmuran luar biasa berkat pertambangan fosfat. Negara yang luasnya tak seberapa itu menjadi salah satu yang terkaya di dunia pada masanya. Namun, kekayaan itu tidak berlangsung lama. Ketergantungan ekonomi pada fosfat, tanpa diversifikasi ke sektor lain seperti industri dan pertanian, menjadi bumerang. Dana perwalian yang seharusnya menjadi jaminan masa depan justru dikorupsi, digunakan untuk investasi bodong dan proyek-proyek tidak jelas. Akhirnya, Nauru mengalami krisis keuangan yang parah. Lebih parah lagi, penambangan fosfat yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan lingkungan yang dahsyat, menjadikan sebagian besar wilayah pulau itu tidak layak huni.
Kisah Nauru adalah contoh klasik dari "kutukan sumber daya alam", sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Richard Auty pada tahun 1993. Auty menjelaskan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam, seperti minyak dan gas, seringkali mengalami kinerja ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumber dayanya terbatas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk:
- Penyakit Belanda (Dutch Disease): Ketika sebuah negara tiba-tiba kaya karena ekspor komoditas, mata uangnya menguat. Hal ini membuat ekspor sektor lain, seperti manufaktur dan pertanian, menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif. Sebaliknya, impor menjadi lebih murah, yang dapat menghambat perkembangan industri lokal.
- Volatilitas Harga Komoditas: Harga komoditas seringkali fluktuatif. Ketika harga tinggi, negara cenderung boros dan melakukan investasi yang tidak produktif. Namun, ketika harga jatuh, negara mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa berutang.
- Kurangnya Nilai Tambah: Ekonomi ekstraktif, yang hanya mengekspor bahan mentah, tidak menciptakan nilai tambah. Nilai tambah baru muncul ketika bahan mentah diolah menjadi produk jadi.
- Ekonomi Pemburu Rente dan Kapitalisme Kroni: Untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam, para pelaku usaha seringkali mencari kedekatan dengan pejabat politik dan melakukan praktik-praktik korupsi.
- Pengabaian Pembangunan Sumber Daya Manusia: Negara kaya sumber daya alam seringkali abai dalam membangun kualitas sumber daya manusia karena ekonomi ekstraktif tidak membutuhkan inovasi dan tenaga kerja terampil.
Kisah Raja Ampat saat ini menjadi perhatian karena wilayah yang dikenal dengan keindahan alamnya itu terancam oleh ekspansi pertambangan nikel. Meskipun pariwisata telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah, potensi nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat menarik minat perusahaan pertambangan. Padahal, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil.
Ekspansi pertambangan di Raja Ampat menjadi peringatan bahwa Indonesia masih belum sepenuhnya terlepas dari ancaman kutukan sumber daya. Sejak zaman penjajahan, ekonomi Indonesia telah bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada harga komoditas, deindustrialisasi dini, korupsi, dan pengabaian pembangunan sumber daya manusia.
Penting bagi Indonesia untuk belajar dari pengalaman Nauru dan negara-negara lain yang mengalami kutukan sumber daya. Kekayaan alam seharusnya digunakan untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, bukan hanya untuk memperkaya segelintir orang. Jepang, dengan filosofi bahwa kekayaan terbesar bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia, dapat menjadi contoh yang baik.