Pengalaman Ramadan di Luar Negeri: Durasi Puasa dan Tarawih di Turki dan Jepang
Pengalaman Ramadan di Luar Negeri: Durasi Puasa dan Tarawih di Turki dan Jepang
Ramadan tahun ini menyajikan pengalaman unik bagi warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri. Durasi puasa, yang menjadi pertimbangan penting bagi umat Muslim, ternyata memiliki perbedaan signifikan antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk Turki dan Jepang. Fauzul Azhim Bin Fakhrurazi, mantan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki periode 2022-2023 dan pemimpin National Youth Council (NYC) Indonesia cabang Turki periode 2023-2026, berbagi pengalamannya menjalani ibadah puasa di Turki.
Fauzul menuturkan bahwa durasi puasa di Turki saat ini relatif sama dengan di Indonesia, sekitar 13 jam. Waktu sahur sekitar pukul 06.00 dan waktu berbuka (magrib) sekitar pukul 19.00. Namun, ia menekankan perbedaan signifikan yang terjadi sepanjang tahun. “Durasi puasa ini tergolong lebih cepat karena Turki saat ini sedang mengalami musim dingin,” ujarnya. “Kalau musim panas, durasi puasa bisa mencapai 18 jam. Saya harus menjaga kondisi tubuh agar tetap bugar saat musim panas,” tambahnya. Hal ini menyoroti pentingnya adaptasi fisik dan mental dalam menjalani ibadah puasa di lingkungan dengan iklim yang berbeda.
Aspek menarik lainnya yang diungkapkan Fauzul adalah kemudahan akses terhadap makanan berbuka puasa. Pemerintah Turki dan lembaga independen menyediakan program buka puasa gratis di berbagai lokasi, mirip dengan praktik yang umum di Indonesia di masjid-masjid. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam operasional restoran dan warung makan. Berbeda dengan Indonesia, restoran dan warung makan di Turki tetap buka selama siang hari di bulan Ramadhan, memberikan fleksibilitas bagi mereka yang tidak berpuasa.
Selain durasi puasa, Fauzul juga membandingkan pelaksanaan shalat Tarawih di Turki dengan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa imam di masjid-masjid Turki cenderung lebih cepat dalam membaca ayat Al-Quran, sehingga shalat Tarawih relatif lebih singkat. “Imam di sini biasanya membaca surat hanya satu ayat atau satu tarikan napas, jadi shalat tarawih relatif cepat,” tuturnya. Kendati demikian, kemeriahan shalat Tarawih di malam pertama Ramadhan tetap terasa, dengan masjid-masjid yang dipenuhi jamaah.
Pengalaman serupa juga dibagikan oleh Syaifiyatul Hasanah, mahasiswa S3 asal Indonesia yang berdomisili di Jepang. Ia melaporkan durasi puasa di Jepang juga sekitar 13 jam, sama dengan di Turki dan Indonesia. “Di Jepang menyenangkan karena cuacanya dingin, jadi puasanya tidak begitu terasa untuk menahan haus dan lapar,” kata Syaifiyatul. Ia menambahkan bahwa komunitas Muslim di Jepang mengadakan buka puasa bersama pada Jumat, Sabtu, dan Minggu di masjid. Untuk kegiatan keagamaan lainnya, seperti tadarus, mereka memanfaatkan teknologi dengan mengadakannya secara online melalui Zoom setelah shalat Subuh, untuk menghindari mengantuk setelah sahur.
Kesimpulannya, pengalaman Ramadan bagi WNI di luar negeri, seperti di Turki dan Jepang, menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam durasi puasa dan pelaksanaan shalat Tarawih dibandingkan dengan Indonesia. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor iklim dan juga kebiasaan lokal. Namun, semangat keislaman dan kekompakan komunitas muslim tetap terjaga, dengan adanya berbagai inisiatif untuk saling mendukung dan berbagi dalam menjalankan ibadah di bulan suci ini. Meskipun terdapat perbedaan, esensi Ramadan tetap sama, yaitu meningkatkan ketakwaan dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta.