Sengketa Empat Pulau di Aceh: Pemerintah Pertimbangkan Aspek Sejarah dan Budaya dalam Penentuan Wilayah

Polemik terkait kepemilikan empat pulau di Aceh yang berpotensi beralih ke Sumatra Utara (Sumut) memasuki babak baru. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah melakukan pengkajian mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk sejarah dan budaya.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pemerintah berupaya mencari solusi terbaik bagi semua pihak yang terlibat dalam sengketa ini. Menurutnya, hingga saat ini belum ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang secara definitif mengatur batas wilayah antara Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Singkil di Aceh.

"Masalah empat pulau di Aceh itu sampai hari ini sebenarnya belum ada peraturan Mendagri yang mengatur tentang batas wilayah antara Kabupaten Tapanuli Tengah dengan Kabupaten Singkil di Aceh. Yang ada itu adalah keputusan Menteri Dalam Negeri mengenai pengkodean pulau-pulau itu memang sudah ada. Jadi semua pihak harap bersabar," ujar Yusril kepada wartawan di Depok, Jawa Barat.

Yusril menambahkan, keputusan terkait pengkodean pulau-pulau tersebut tidak serta merta menentukan batas wilayah administratif antara Aceh dan Sumatra Utara, atau antara Kabupaten Singkil dan Tapanuli Tengah. Oleh karena itu, masih terbuka ruang untuk mengkaji ulang permasalahan ini melalui musyawarah dan mufakat.

Pemerintah, kata Yusril, akan menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak terkait, termasuk Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan dan perspektif yang komprehensif sebelum mengambil keputusan final.

Walaupun secara geografis pulau-pulau tersebut lebih dekat ke Tapanuli Tengah, Yusril menekankan bahwa kedekatan geografis bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam menetapkan wilayah administratif suatu pulau. Faktor-faktor lain seperti sejarah, budaya, dan komposisi demografis juga harus menjadi pertimbangan yang matang.

"Jadi tentu ada faktor-faktor lain faktor-faktor sejarah, faktor-faktor budaya, faktor-faktor penempatan suku, dan lain-lain di kawasan itu. Yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan pulau itu masuk ke dalam wilayah provinsi atau kabupaten atau kota yang mana," jelasnya.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, Yusril memberikan contoh beberapa kasus serupa di tingkat internasional. Ia mencontohkan kasus Pulau Natuna yang secara geografis lebih dekat ke Serawak, Malaysia, namun secara historis merupakan bagian dari wilayah Hindia-Belanda. Kemudian, Pulau Miangas di Sulawesi Utara yang lebih dekat ke Mindanao, Filipina, tetapi tetap menjadi bagian dari wilayah Indonesia sejak kemerdekaan.

Kasus lain yang disinggung adalah Pulau Pasir, yang lebih dekat ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), daripada ke Australia. Namun, sejak tahun 1878, Inggris mengklaim Pulau Pasir sebagai wilayahnya, dan klaim ini tidak pernah dikomplain oleh pemerintah Belanda. Sampai saat ini, Pulau Pasir tetap menjadi wilayah Australia, meskipun secara geografis jauh dari Australia.

Oleh karena itu, Yusril menegaskan bahwa pengkajian terhadap empat pulau di Aceh ini harus dilakukan secara komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai aspek sejarah, budaya, dan faktor-faktor relevan lainnya. Pemerintah berkomitmen untuk mengambil keputusan yang adil dan bijaksana bagi semua pihak yang berkepentingan.

Dengan demikian, polemik mengenai empat pulau di Aceh ini masih dalam proses pengkajian yang mendalam oleh pemerintah. Keputusan final akan diambil setelah mempertimbangkan seluruh aspek yang relevan, dengan mengutamakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.