Polemik Pemotongan Gaji Honorer RSUD Nunukan: Regulasi Baru, Persepsi Berbeda, dan Desakan Evaluasi Manajemen
Polemik Pemotongan Gaji Honorer RSUD Nunukan: Regulasi Baru, Persepsi Berbeda, dan Desakan Evaluasi Manajemen
Ratusan tenaga honorer Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nunukan, Kalimantan Utara, mengeluhkan pemotongan gaji mereka pasca perubahan regulasi penganggaran dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketidakpuasan ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan pada Selasa, 4 Februari 2025. Para honorer, yang diwakili oleh juru bicara mereka, Muslimin, mengungkapkan kebingungan dan kekecewaan atas perbedaan nominal gaji yang diterima dengan ekspektasi mereka.
Salah satu tenaga honorer, Charles, petugas kelistrikan RSUD Nunukan, menuturkan bahwa gajinya sebelumnya mencapai Rp 1,3 juta. Dengan adanya janji kenaikan gaji Rp 500.000 dari mantan Bupati Nunukan, Asmin Laura Hafid, ia berharap menerima Rp 1,8 juta. Namun, kenyataannya, ia hanya menerima Rp 1.650.000. Kekecewaan serupa dirasakan oleh Muslimin, seorang sopir ambulans, yang juga mengalami pengurangan gaji. Mereka juga menyoroti kekurangan hak libur, termasuk saat Hari Raya Lebaran, yang semakin memperburuk kondisi psikologis mereka. "Janji kenaikan Rp 500.000 itu sangat berarti bagi kami," ungkap Muslimin, menekankan dampak signifikan dari pengurangan tersebut terhadap kesejahteraan mereka.
Menanggapi protes tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSUD Nunukan, Sabarudin, menjelaskan bahwa perubahan sistem penganggaran dari BLUD ke APBD berdampak pada perubahan standar gaji yang mengacu pada Standar Satuan Harga (SSH). Ia menegaskan bahwa gaji sopir ambulans, misalnya, berubah dari Rp 1,3 juta (sistem BLUD) menjadi Rp 1,1 juta (sistem APBD). Penambahan Rp 500.000 untuk kesejahteraan membuat total gajinya menjadi Rp 1.650.000, sesuai dengan SSH yang berlaku. Sabarudin juga menekankan bahwa sistem APBD memberikan jaminan stabilitas gaji yang lebih terjamin dibandingkan dengan sistem BLUD yang bergantung pada pendapatan rumah sakit. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa sistem APBD membuka peluang bagi tenaga honorer untuk terdata dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN), meningkatkan peluang pengembangan karir mereka di masa depan.
Namun, penjelasan tersebut dinilai kurang memadai oleh DPRD Nunukan. Ketua Komisi 3 DPRD Nunukan, Rian Antoni, menyoroti minimnya sosialisasi dari manajemen RSUD Nunukan terkait perubahan regulasi dan dampaknya terhadap gaji para honorer. Kurangnya komunikasi yang efektif, menurutnya, telah memicu kesalahpahaman dan ketidakpuasan di kalangan tenaga honorer. Selain itu, DPRD juga menyoroti masalah lain yang masih membayangi RSUD Nunukan, yaitu kasus korupsi BLUD Nunukan yang merugikan negara sebesar Rp 2,52 miliar. Anggota DPRD lainnya, Gat Khaleb, mengungkapkan kekhawatiran atas minimnya tenaga kesehatan di daerah pedalaman dan rendahnya gaji tenaga kesehatan di Nunukan dibandingkan dengan kabupaten/kota tetangga, seperti Malinau, Tanjung Selor, dan Tarakan. Hal ini dinilai menjadi penyebab minimnya minat tenaga kesehatan untuk bertugas di Nunukan.
DPRD Nunukan mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap manajemen RSUD Nunukan, termasuk kemungkinan pergantian jajaran manajemen yang dianggap masih menyimpan banyak masalah. Sekretaris Komisi 1 DPRD Nunukan, Mansur Rincing, bahkan meminta Bupati Nunukan untuk mengambil tindakan tegas dengan mengganti jajaran lama di RSUD. DPRD juga berencana membahas kenaikan standar gaji honorer dengan instansi terkait untuk mencari solusi yang lebih adil dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Permasalahan ini menunjukkan perlunya peningkatan transparansi dan komunikasi yang efektif antara manajemen RSUD Nunukan dan para tenaga honorer, serta komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan di Kabupaten Nunukan.