Lonjakan Wisatawan Asing Picu Kelangkaan Matcha Premium di Uji, Jepang

Kota Uji, yang dikenal sebagai pusat penghasil matcha premium di Jepang, kini tengah menghadapi tantangan serius akibat lonjakan permintaan yang tak sebanding dengan pasokan. Serbuan wisatawan asing, terutama setelah dibukanya kembali perbatasan pasca-pandemi, telah menyebabkan kelangkaan matcha di berbagai toko, bahkan sebelum jam buka.

Fenomena ini terlihat jelas di Nakamura Tokichi Honten, sebuah toko bersejarah yang dulunya memasok teh untuk kaisar dan kini menjadi salah satu produsen matcha paling bergengsi. Seorang jurnalis BBC menyaksikan langsung bagaimana antrean panjang terbentuk bahkan sebelum toko buka pukul 10 pagi. Ketika pintu dibuka, para wisatawan berebut kaleng-kaleng matcha, seringkali mengabaikan batasan pembelian yang diberlakukan oleh beberapa toko.

Karyawan toko kewalahan menghadapi permintaan yang tinggi. Mereka berjuang untuk mengisi kembali rak-rak yang kosong dalam hitungan detik, dengan tangan-tangan meraih keranjang mereka untuk mendapatkan bubuk hijau yang sangat dicari. Seorang turis dengan aksen Amerika bahkan mengungkapkan kekecewaannya karena kehabisan matcha hanya beberapa menit setelah toko buka.

Permintaan global akan matcha telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh kesadaran akan manfaat kesehatannya dan popularitasnya di media sosial. Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang melaporkan bahwa produksi matcha telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 2010, mencapai 4.176 ton pada tahun 2023. Pariwisata Jepang juga mengalami pertumbuhan pesat, dengan hampir 37 juta wisatawan mengunjungi negara itu pada tahun 2024, rekor tertinggi.

Tomomi Hisaki, manajer umum di toko utama Tsujirihei, mencatat bahwa wisatawan internasional sangat tertarik pada matcha seremonial kelas atas dan sering membeli dalam jumlah besar. Matcha seremonial, yang terbuat dari daun teh termuda dan dihargai karena rasa umaminya yang kaya, tidak dapat diproduksi secara massal. Daun teh ditanam di tempat teduh untuk meningkatkan rasa, tetapi proses ini membatasi pertumbuhan dan panen.

Proses penggilingan batu tradisional juga menjadi kendala. Meskipun menghasilkan bubuk yang sangat halus, setiap penggilingan hanya dapat menghasilkan sekitar 400 gram teh setelah delapan jam, cukup untuk 13 kaleng. Peningkatan produksi matcha membutuhkan waktu dan investasi yang signifikan, karena kebun teh baru membutuhkan bertahun-tahun untuk menghasilkan panen yang layak.

Masalah lain muncul dari penggunaan matcha seremonial dalam latte dan smoothie, yang mengurangi ketersediaannya dalam bentuk tradisional. Simona Suzuki, presiden Global Japanese Tea Association, berharap wisatawan akan mempertimbangkan tujuan penggunaan saat membeli matcha dan menjelajahi jenis teh Jepang lainnya, seperti sencha, gyokuro, dan hojicha.