Polemik Pungutan di Padang Mausui, NTT: Antara Tradisi, Pariwisata, dan Harapan Pengembangan

Polemik Pungutan di Padang Mausui, NTT: Antara Tradisi, Pariwisata, dan Harapan Pengembangan

Kasus dugaan pemalakan terhadap wisatawan di Padang Mausui, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), memicu perdebatan tentang status lahan, praktik wisata, dan potensi pengembangan kawasan tersebut. Viral di media sosial, keluhan seorang wisatawan asal Jakarta mengenai pungutan yang dialaminya saat berkunjung ke padang sabana itu telah sampai ke telinga pemerintah kelurahan setempat.

Angelus H. Yosense, Lurah Watu Nggene, memberikan klarifikasi terkait isu yang beredar. Ia menegaskan bahwa Padang Mausui bukanlah destinasi wisata resmi yang dikelola pemerintah. Lahan tersebut merupakan tanah ulayat yang secara turun-temurun dikuasai oleh tiga suku: Nggeli, Motu, dan Kewi. Warga suku memiliki hak atas lahan tersebut sebagai tempat penggembalaan ternak. Karena belum ada penyerahan lahan ke pemerintah, maka pengelolaan secara resmi dan profesional untuk kepentingan pariwisata belum terwujud. Implikasinya, belum ada regulasi yang jelas terkait aktivitas wisata di kawasan tersebut.

Angelus menjelaskan bahwa jika terjadi pungutan terhadap wisatawan, hal tersebut kemungkinan merupakan transaksi pribadi antara pengunjung dan peternak. Ia menduga pungutan itu sebagai bentuk sumbangan sukarela dari wisatawan sebagai ucapan terima kasih karena telah diizinkan mengunjungi lahan mereka. Sumbangan itu dapat digunakan untuk jasa sewa kuda, jasa membuang sampah, atau pembelian kelapa muda. Pihaknya mengaku belum menerima keluhan resmi soal pungutan tersebut, namun telah mengingatkan warga lokal agar tidak melakukan pungutan liar mengingat belum adanya legalitas pengelolaan.

Cerita wisatawan yang viral di TikTok menceritakan pengalaman kurang mengenakan. Ia mengaku dimintai retribusi sebesar Rp 25.000 per orang saat tiba di lokasi. Selain itu, ia juga diminta membayar Rp 300.000 jika ingin menerbangkan drone, dengan alasan mengganggu satwa. Wisatawan tersebut menolak membayar biaya tambahan dan menyayangkan pengalaman tersebut.

Pemerintah kelurahan Watu Nggene sebenarnya telah berupaya menjalin komunikasi dengan masyarakat adat untuk mengembangkan Padang Mausui sebagai destinasi wisata resmi. Pada Maret lalu, koordinasi dan konsultasi telah dilakukan dengan para pemimpin suku untuk menjajaki kemungkinan kerja sama dengan Dinas Pariwisata. Namun, hingga saat ini belum ada respons dari komunitas masyarakat suku. Status Padang Mausui masih sebagai padang penggembalaan ternak komunitas suku.

Kasus ini menyoroti kompleksitas pengelolaan potensi wisata di daerah yang memiliki tradisi dan hak ulayat yang kuat. Di satu sisi, ada potensi ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pariwisata. Di sisi lain, perlu ada kehati-hatian dalam menjaga hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan. Dialog dan kesepakatan antara pemerintah, masyarakat adat, dan pihak-pihak terkait menjadi kunci untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Potensi Padang Mausui sebagai destinasi wisata tidak dapat dipungkiri. Hamparan padang sabana yang luas dan indah menawarkan pemandangan yang memukau. Namun, tanpa pengelolaan yang terencana dan partisipasi aktif dari masyarakat adat, potensi tersebut dapat terhambat dan bahkan menimbulkan konflik.

Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Padang Mausui sebagai destinasi wisata:

  • Kejelasan Status Lahan: Status lahan Padang Mausui harus diperjelas melalui dialog dan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat adat.
  • Pengelolaan Berbasis Komunitas: Masyarakat adat harus dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan wisata, termasuk dalam penentuan kebijakan dan pembagian keuntungan.
  • Regulasi yang Jelas: Perlu ada regulasi yang jelas terkait aktivitas wisata di Padang Mausui, termasuk tarif masuk, biaya jasa, dan perlindungan lingkungan.
  • Pelatihan dan Pengembangan SDM: Masyarakat lokal perlu mendapatkan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan wisata.
  • Promosi yang Bertanggung Jawab: Promosi wisata harus dilakukan secara bertanggung jawab dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal.

Diharapkan, dengan pengelolaan yang baik, Padang Mausui dapat menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal serta para wisatawan yang berkunjung.