Kopi Tuak Jambi: Warisan Rasa di Ambang Kepunahan

Kopi Tuak Jambi: Warisan Rasa di Ambang Kepunahan

Di pelosok Desa Jambi Tulo, Kabupaten Muarojambi, aroma khas kopi tuak masih tercium, perpaduan unik antara kopi dan nira yang segar. Namun, di balik kelezatannya, tersimpan kekhawatiran mendalam akan kelestarian tradisi yang telah menjadi bagian dari budaya lokal selama lebih dari seabad.

Adi Ismanto, seorang tokoh pelestari dari Gerakan Muarojambi Bersakat (GMB), mengungkapkan bahwa jumlah ahli penyadap nira semakin berkurang. Generasi penerus yang memiliki keahlian ini dapat dihitung jari. Pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun ini terancam punah, karena tidak banyak generasi muda yang tertarik untuk mempelajarinya.

Ancaman lain yang tak kalah serius adalah semakin sulitnya menemukan pohon enau, sumber utama nira. Alih fungsi lahan perkebunan menjadi kelapa sawit dan karet semakin mempersempit habitat pohon enau (Arenga pinnata). Saat ini, diperkirakan hanya tersisa ratusan pohon enau di alam bebas.

Kopi tuak bukan sekadar minuman. Proses pembuatannya melibatkan ketelitian dan keahlian khusus. Mulai dari menyadap nira secara manual, memasaknya dengan kayu bakar, hingga mencampurkannya dengan bubuk kopi dalam takaran yang tepat untuk mencapai keseimbangan rasa manis dan pahit.

"Dulu, saat penjajahan Belanda, ketika gula sulit didapatkan, leluhur kami menggunakan air nira segar sebagai pemanis kopi," kata Adi.

Nira segar memiliki karakteristik unik. Ia tidak dapat disimpan terlalu lama karena rasanya akan cepat berubah menjadi asam. Oleh karena itu, kopi tuak hanya dapat disajikan dalam waktu-waktu tertentu.

Satu cangkir kopi tuak biasanya dinikmati bersama singkong rebus. Namun, kini singkong juga semakin jarang ditanam, menambah tantangan dalam mempertahankan tradisi ini.

Pohon enau memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Hampir semua bagian pohon, dari akar hingga ujung daun, dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari pangan, obat-obatan, minuman, hingga kerajinan tangan.

"Lidi enau dapat digunakan untuk membuat kerajinan piring, ijuknya bisa menjadi atap rumah, buahnya bisa dimakan, dan air niranya bisa diolah menjadi gula dan bahan untuk meracik kopi tuak," jelas Adi.

Adi menekankan bahwa pelestarian kopi tuak tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab masyarakat. Pemerintah juga harus berperan aktif dalam upaya ini. Pendidikan dan pelatihan tentang kopi tuak dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah atau perguruan tinggi.

Di desa tersebut, Saifudin, seorang pawang nira, masih setia memanjat pohon enau setinggi lebih dari 10 meter dengan menggunakan tangga bambu. Sebelum memulai pekerjaannya, ia selalu mengucapkan mantra:

"Anak itik bertali rumbai. Sudah rumbai raut-an pula. Aek setitik menjadi sungai. Sudah sungai menjadi lautan."

Mantra tersebut diyakini sebagai doa agar sadapan nira melimpah dan untuk keselamatan diri. Proses menyadap nira juga dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Mulai dari ngual (memukul manggar secara keliling) hingga mengayunnya 50 kali dengan lembut, seolah-olah menimang bayi.

"Proses mengayun harus dilakukan dengan lemah lembut, seperti menimang bayi," kata Saifudin.

Setelah itu, pangkal manggar dipotong dan air nira mulai menetes perlahan ke dalam tabang (wadah bambu) yang berdiameter sekitar lima sentimeter.

Setiap tetes kopi tuak mengandung rasa perjuangan. Kini, perjuangan untuk melestarikan tradisi ini berada di persimpangan jalan: bertahan atau hilang ditelan zaman.

Namun, di tengah kekhawatiran, harapan masih ada. Lokasi Jambi Tulo yang berdekatan dengan Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muarojambi membuka peluang promosi yang lebih luas. Dengan sinergi antara masyarakat dan pemerintah, kopi tuak dapat terus hidup, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai cerita yang terus mengalir dari generasi ke generasi.