Perbedaan Suasana Ramadan di Dua Kota Besar Inggris: London yang Meriah dan Birmingham yang Sepi

Perbedaan Suasana Ramadan di London dan Birmingham

Ramadan 2025 di Inggris menghadirkan kontras yang menarik antara dua kota besarnya: London dan Birmingham. Di London, ibu kota Inggris dengan populasi muslim signifikan, suasana Ramadan tahun ini terasa lebih semarak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditandai dengan hadirnya dekorasi dan pencahayaan tematik yang menghiasi sejumlah ruas jalan utama, seperti di Coventry Street dan Piccadilly Circus. Ribuan lampu LED bertema Ramadan, sebuah inisiatif yang dimulai pada tahun 2023, kini diperluas dengan instalasi interaktif di Leicester Square dan bahkan jalur kuliner halal untuk berbuka puasa. Wali Kota London, Sadiq Khan, kembali memimpin peresmian instalasi lampu tersebut, menekankan komitmen pemerintah kota untuk menciptakan atmosfer yang lebih inklusif bagi komunitas Muslim. Eko Kurniawan, seorang warga negara Indonesia yang bekerja di London, menggambarkan suasana tersebut sebagai “sangat meriah,” mencatat kehadiran dekorasi Ramadan yang melimpah di pusat-pusat perbelanjaan. Selain dekorasi, kegiatan keagamaan juga semakin aktif, seperti terlihat dari meningkatnya partisipasi dalam acara buka bersama di Masjid Indonesian Islamic Center, yang juga membuka kesempatan donasi untuk membantu kegiatan Ramadan. Bagi Eko, berbuka puasa dengan hidangan Indonesia di masjid menjadi cara untuk meredakan kerinduan akan kampung halaman.

Kontras di Birmingham

Berbeda dengan London, suasana Ramadan di Birmingham, kota dengan populasi Muslim terbesar kedua di Inggris, terasa lebih sepi. Zakiyatul Mufidah, seorang mahasiswa asal Indonesia di University of Birmingham, merasakan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan Ramadan di Indonesia. Ia menggambarkan suasana Ramadan di Birmingham sebagai “tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa,” tanpa adanya dekorasi dan pencahayaan khas Ramadan di pusat kota. Nuansa Ramadan baru terasa ketika memasuki pusat perbelanjaan yang menyediakan barang-barang bertema Ramadan. Zakiyatul menambahkan bahwa ia dan komunitasnya harus secara mandiri menciptakan suasana Ramadan yang meriah, sebuah kontras dengan kemeriahan yang sudah terbangun di Indonesia. Kesulitan lain yang dihadapi adalah keterbatasan akses terhadap tradisi seperti ngabuburit dan ketersediaan makanan khas Indonesia. Kesibukan kuliah dan perbedaan budaya mengharuskan adaptasi terhadap pilihan makanan yang lebih praktis, seperti makanan instan atau salad siap saji, untuk sahur dan berbuka puasa.

Meskipun terdapat perbedaan suasana yang signifikan antara London dan Birmingham, komunitas Muslim Indonesia di kedua kota tetap berupaya menjaga semangat kebersamaan dan kehangatan Ramadan di tanah rantau.

Perbedaan ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting:

  • Apa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan signifikan dalam perayaan Ramadan antara London dan Birmingham?
  • Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mendukung dan memfasilitasi perayaan Ramadan di masing-masing kota?
  • Apa tantangan dan adaptasi yang dihadapi oleh komunitas Muslim Indonesia dalam merayakan Ramadan di Inggris?
  • Seberapa besar pengaruh budaya lokal terhadap perayaan Ramadan di kalangan komunitas Muslim Indonesia di Inggris?
  • Bagaimana peran komunitas dalam menciptakan suasana Ramadan yang hangat dan bermakna di tengah perbedaan suasana kota?