Gelombang Penutupan Diler Otomotif: Antara Tekanan Ekonomi dan Era Kendaraan Listrik
Fenomena penutupan sejumlah diler otomotif dari merek-merek ternama seperti Honda, Mitsubishi, Daihatsu, hingga Hyundai, menjadi sorotan tajam di tengah kondisi pasar yang dinamis. Penutupan ini mengindikasikan adanya perubahan signifikan dalam lanskap industri otomotif nasional.
Tekanan Ganda: Ekonomi dan Persaingan
Beberapa faktor utama menjadi pemicu situasi ini. Pertama, melemahnya daya beli masyarakat akibat perlambatan ekonomi secara umum. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dan tren kredit macet (NPL) yang meningkat semakin memperburuk keadaan. Kondisi ini menyebabkan konsumen menunda pembelian kendaraan baru, atau beralih ke opsi yang lebih terjangkau seperti mobil bekas.
Kedua, persaingan yang semakin ketat di industri otomotif. Ekspansi merek-merek otomotif asal Tiongkok dengan strategi harga agresif dan produk yang sesuai dengan selera pasar lokal telah mengubah peta persaingan. Merek-merek mapan pun harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan pangsa pasarnya.
Bantahan Daihatsu dan Sikap Merek Lain
Tri Mulyono, dari PT Astra International Daihatsu Sales Operation (AI-DSO), membantah adanya penutupan diler Daihatsu. Ia menegaskan bahwa seluruh jaringan diler Daihatsu masih beroperasi secara normal. Sementara itu, hingga saat ini pihak Honda, Mitsubishi, dan Hyundai belum memberikan komentar resmi terkait isu penutupan diler mereka.
Penurunan Penjualan dan Dampak Ekonomi
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penurunan penjualan yang signifikan. Pada Mei 2025, distribusi kendaraan dari pabrik ke diler (wholesales) turun 15,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penjualan ritel juga mengalami penurunan. Secara kumulatif, sepanjang Januari hingga Mei 2025, wholesales turun 5,5 persen, sementara penjualan ritel anjlok 9,2 persen.
Peneliti Senior LPEM UI, Riyanto, menyoroti beban fiskal yang tinggi sebagai salah satu penyebab utama penurunan daya beli. Ia berpendapat bahwa jarak antara harga mobil dan pendapatan per kapita masih terlalu besar, sehingga banyak konsumen beralih ke mobil bekas. Riyanto juga menekankan perlunya kebijakan radikal seperti insentif PPnBM untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif.
Era Kendaraan Listrik: Pergeseran Strategis
Di tengah tekanan pasar, industri otomotif mulai mengarah ke kendaraan listrik (EV) sebagai solusi jangka panjang. Data Gaikindo menunjukkan peningkatan signifikan dalam penjualan EV pada lima bulan pertama 2025. Battery Electric Vehicle (BEV) bahkan melampaui Hybrid Electric Vehicle (HEV) dalam hal penjualan. Hal ini menandakan pergeseran preferensi konsumen ke kendaraan listrik.
Pengamat otomotif dari ITB, Yannes Martinus Pasaribu, menilai bahwa pasar otomotif Indonesia sedang mengalami pergeseran signifikan. Konsumen dari kelas menengah masih tertekan daya belinya, sementara generasi milenial dan Gen Z lebih kritis dalam menilai desain, fitur, dan harga kendaraan. Ia juga menyoroti persaingan yang semakin intens akibat ekspansi merek-merek China.
Adaptasi Industri dan Dukungan Kebijakan
Sejumlah pelaku industri telah mengambil langkah konkret untuk menghadapi perubahan ini. Indomobil Group, misalnya, telah membangun pabrik EV di Purwakarta melalui kerja sama dengan GAC Aion. Namun, Riyanto menekankan bahwa dukungan kebijakan fiskal dari pemerintah sangat penting untuk menggerakkan pasar. Ia mengusulkan pengurangan PPN atau PPnBM untuk meringankan beban pajak konsumen.
Dengan demikian, fenomena penutupan diler otomotif ini adalah sinyal perubahan yang lebih besar dalam industri otomotif. Tekanan ekonomi dan persaingan yang meningkat mendorong pelaku industri untuk beradaptasi dan berinovasi. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan industri otomotif yang berkelanjutan.