Polemik Pungutan di Savana Mausui: Antara Tradisi, Wisata, dan Inisiatif Lokal
Padang Savana Mausui di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi sorotan setelah viralnya video seorang wisatawan yang mengaku dimintai sejumlah uang oleh warga setempat. Kejadian ini memicu perdebatan tentang legalitas pungutan, status kawasan, dan peran masyarakat adat dalam pengelolaan potensi wisata.
Wisatawan tersebut, melalui akun TikTok, menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Savana Mausui. Ia mengaku didatangi oleh sekelompok warga yang meminta sejumlah uang untuk retribusi masuk dan izin menerbangkan drone. Meskipun ia bersedia membayar retribusi masuk yang dianggap masih terjangkau, ia menolak membayar biaya tambahan untuk drone, yang menurut warga beralasan agar tidak mengganggu satwa liar. Pengalaman ini kemudian ia bagikan di media sosial dan menjadi viral.
Menanggapi kejadian tersebut, Lurah Watu Nggene menjelaskan bahwa Padang Savana Mausui bukanlah destinasi wisata resmi, melainkan area penggembalaan ternak milik masyarakat adat. Ia menekankan bahwa lahan tersebut merupakan tanah ulayat yang dikuasai oleh tiga suku, dan belum ada penyerahan lahan kepada pemerintah. Dengan demikian, pemerintah belum memiliki peran dalam pengelolaan kawasan tersebut.
Lurah Watu Nggene menambahkan bahwa jika ada pungutan terhadap wisatawan, hal itu merupakan transaksi pribadi antara pengunjung dan peternak. Ia menduga bahwa pungutan tersebut mungkin merupakan sumbangan sukarela dari wisatawan sebagai ucapan terima kasih atas jasa-jasa yang diberikan oleh penjaga ternak, seperti sewa kuda, pembuangan sampah, atau pembelian kelapa muda. Ia juga menegaskan belum menerima keluhan resmi terkait pungutan ini.
Kepolisian Resor Manggarai Timur (Polres Matim) telah melakukan klarifikasi terhadap tujuh warga yang diduga terlibat dalam pungutan tersebut. Kapolres Matim menjelaskan bahwa tindakan warga tersebut bukan merupakan pungutan liar (pungli), melainkan inisiatif sukarela untuk menjaga kebersihan lingkungan dan memperbaiki jalan yang rusak. Kapolres juga menegaskan bahwa tidak ada unsur paksaan dalam pungutan tersebut dan uang yang diminta untuk drone tidak pernah diterima.
Polres Matim menjelaskan bahwa Savana Mausui berada di atas tanah ulayat masyarakat adat dan belum dikelola sebagai destinasi wisata resmi oleh pemerintah. Oleh karena itu, warga bertindak secara mandiri tanpa arahan atau setoran kepada pihak mana pun. Karena berada di wilayah adat, tujuh warga yang dimintai keterangan telah dipulangkan dan polisi hanya memberikan imbauan persuasif tanpa proses hukum.
Kasus ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana menyeimbangkan antara hak masyarakat adat, potensi wisata, dan kenyamanan wisatawan. Di satu sisi, masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola tanah ulayat mereka dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Di sisi lain, Savana Mausui memiliki potensi wisata yang dapat meningkatkan perekonomian daerah. Oleh karena itu, diperlukan dialog dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan pelaku wisata untuk mencari solusi yang saling menguntungkan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain:
- Status kawasan: Perlu ada kejelasan mengenai status Padang Savana Mausui, apakah akan ditetapkan sebagai kawasan wisata resmi atau tetap menjadi area penggembalaan ternak.
- Pengelolaan: Jika ditetapkan sebagai kawasan wisata, perlu ada pengelolaan yang profesional dan transparan, dengan melibatkan masyarakat adat.
- Regulasi: Perlu ada regulasi yang jelas mengenai pungutan, tarif, dan perizinan, sehingga tidak ada lagi praktik pungutan liar.
- Edukasi: Perlu ada edukasi kepada wisatawan mengenai adat dan budaya setempat, serta pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
- Pendampingan: Perlu ada pendampingan dari pemerintah kepada masyarakat adat dalam mengembangkan potensi wisata secara berkelanjutan.
Diharapkan, dengan adanya dialog dan koordinasi yang baik, polemik pungutan di Savana Mausui dapat diselesaikan dengan solusi yang adil dan berkelanjutan, sehingga semua pihak dapat merasakan manfaat dari potensi wisata yang ada.