Ramadhan di Inggris: Perbedaan Perayaan di London dan Birmingham, Kisah Warga Negara Indonesia

Ramadhan di Inggris: Kontras Perayaan di London dan Birmingham

Bulan Ramadhan di Inggris, khususnya di kota-kota besar seperti London dan Birmingham, menawarkan pengalaman yang kontras bagi warga negara Indonesia (WNI) yang merayakannya di sana. Di London, suasana Ramadhan terasa lebih semarak, diwarnai oleh berbagai inisiatif dan perayaan yang melibatkan komunitas Muslim dan bahkan keluarga kerajaan. Sebaliknya, di Birmingham, nuansa Ramadhan terasa lebih redup, menuntut inisiatif individu untuk menciptakan suasana bulan suci di tengah perbedaan budaya yang signifikan.

Di London, pemerintah kota, yang dipimpin oleh seorang walikota Muslim, turut serta menciptakan atmosfer Ramadhan yang meriah. Ribuan lampu LED bertema Ramadhan menghiasi pusat kota, menciptakan pemandangan yang memukau. Bahkan, Raja Charles III dan Ratu Camilla turut berpartisipasi dengan mengirimkan kurma ke rumah sakit selama bulan puasa, sebuah tindakan yang menunjukkan dukungan dan penghormatan terhadap komunitas Muslim. Acara buka puasa bersama (open iftar) juga digelar di berbagai tempat, termasuk yang paling menonjol yaitu di Stadion Wembley, stadion utama tim nasional Inggris. Seorang WNI bernama Eko Kurniawan, membagikan pengalamannya mengikuti open iftar di stadion tersebut, menggambarkannya sebagai acara besar yang dihadiri ratusan orang dari berbagai negara dan telah berlangsung sejak tahun 2019. Acara ini bahkan telah menjadi begitu populer sehingga kini memerlukan sistem pendaftaran daring dan pembagian tiket, meskipun gratis, untuk mengatur jumlah peserta yang membludak. Tidak hanya itu, tahun ini, sebuah momen bersejarah terjadi dengan penyelenggaraan open iftar di Kastil Windsor untuk pertama kalinya, sebuah inisiatif yang didukung penuh oleh Raja Charles III sebagai wujud toleransi beragama.

Lebih lanjut, Eko menuturkan kemudahan menemukan makanan halal di London, menunjukkan tingginya permintaan dan penerimaan terhadap kuliner halal di kota tersebut. Kontras dengan kegembiraan di London, Ramadhan di Birmingham terasa berbeda. Eko menuturkan, kurangnya perayaan khusus di Birmingham membuatnya merindukan suasana Ramadhan di Indonesia. Ia menggambarkan perbedaannya, menyebut bahwa suasana Ramadhan di Birmingham terasa lebih “biasa saja”. Hal ini disebabkan oleh minimnya acara-acara khusus Ramadhan, tidak adanya suara azan yang familiar, sahur keliling, dan iklan sirup khas Ramadhan di televisi. Aktivitas Ramadhan seperti tarawih dan tadarus pun dilakukan secara mandiri. Seorang WNI lain yang tinggal di Birmingham, yang hanya ingin disebut Zaky, mengaku harus lebih aktif dalam menciptakan suasana Ramadhan di rumahnya sendiri, sesuatu yang tidak perlu dilakukan di Indonesia. Ia harus lebih berusaha untuk membangun rutinitas Ramadhan, seperti tarawih atau tadarus, yang biasanya dilakukan bersama-sama di masjid di Indonesia. Namun, Zaky dan mahasiswa University of Birmingham lainnya tetap berusaha mengisi bulan Ramadhan dengan mengikuti acara buka bersama komunitas Muslim di kampus dan acara diaspora Indonesia untuk mengobati rasa rindu kampung halaman.

Kesimpulannya, perayaan Ramadhan di Inggris, khususnya antara London dan Birmingham, menyajikan perbandingan yang menarik. London menampilkan perayaan yang besar dan melibatkan berbagai pihak, sedangkan Birmingham menawarkan pengalaman yang lebih pribadi dan membutuhkan usaha yang lebih besar dari individu untuk menciptakan suasana Ramadhan. Kedua pengalaman ini sama-sama mencerminkan bagaimana komunitas Muslim beradaptasi dan merayakan Ramadhan di lingkungan yang berbeda budaya dan agama.