Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Tata Urut dan Penamaan Surat dalam Al-Qur'an

Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Tata Urut dan Penamaan Surat dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, terdiri dari 114 surat (surah) yang masing-masing memiliki arti dan urutan tersendiri. Meskipun jumlah suratnya disepakati, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penamaan dan terutama, urutan penyusunan surat-surat tersebut dalam mushaf (naskah Al-Qur'an). Perbedaan ini telah berlangsung sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW dan hingga kini masih menjadi perdebatan akademik yang menarik.

Penamaan Surat dalam Al-Qur'an: Sebuah Proses Historis

Secara etimologis, kata "surat" atau "surah" berasal dari bahasa Arab "suwar", yang berarti kedudukan atau tempat yang tinggi. Secara terminologis, ia merujuk pada sejumlah ayat Al-Qur'an yang memiliki permulaan dan akhir. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun mendefinisikannya sebagai bagian atau bab dalam Al-Qur'an. Ulama seperti Az-Zarqaniy, Manna' Khalil al-Qathan, dan Az-Zarkasyi, meskipun berbeda sedikit dalam formulasi, sepakat bahwa sebuah surat minimal terdiri dari tiga ayat dan memiliki awal dan akhir yang jelas.

Proses penamaan surat sendiri memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa penamaan surat telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Beberapa faktor yang mendasari penamaan tersebut meliputi:

  • Kandungan atau kisah yang paling menonjol: Nama surat seringkali mencerminkan tema utama atau kisah yang dikisahkan di dalamnya.
  • Keistimewaan makhluk yang dijadikan nama: Beberapa surat dinamai berdasarkan nama tokoh penting atau makhluk yang disebutkan di dalamnya.
  • Tema sentral: Surat dapat dinamai berdasarkan tema utama yang dibahas.
  • Huruf Muqatha'ah: Huruf-huruf awal beberapa surat, yang dikenal sebagai huruf muqatha'ah, juga dapat menjadi faktor penamaan.

Tiga Pandangan Mengenai Urutan Surat dalam Al-Qur'an

Perbedaan pendapat yang lebih signifikan muncul dalam hal urutan surat dalam Al-Qur'an. Tiga pandangan utama telah berkembang di kalangan ulama:

  1. Pandangan Tauqifi: Pendapat ini menyatakan bahwa urutan surat dalam Al-Qur'an telah ditetapkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Para pendukung pandangan ini, termasuk Abu Bakar al-Anbari, Abu Ja'far an-Nuhas, dan at-Thibiy, mengargumenkan hal ini dengan beberapa poin: Surat-surat dengan isi yang serupa tidak selalu berurutan; tidak ada keberatan dari sahabat Nabi terhadap urutan surat dalam mushaf Usman; dan adanya riwayat yang menyebutkan Nabi Muhammad SAW membaca surat-surat dengan urutan tertentu dalam salat.

  2. Pandangan Ijtihadi: Pandangan ini berpendapat bahwa urutan surat dalam Al-Qur'an merupakan hasil ijtihad (pendapat dan tafsiran) para sahabat Nabi SAW. Konsekuensinya, menurut pandangan ini, dimungkinkan adanya beberapa versi mushaf dengan urutan surat yang berbeda. Contohnya, perbedaan urutan surat dalam mushaf Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib.

  3. Pandangan Gabungan Tauqifi dan Ijtihadi: Pandangan ini, yang dianut oleh ulama seperti al-Qadi Abu Muhammad bin Atiyah dan al-Zarqani, menyatakan bahwa sebagian urutan surat bersifat tauqifi (ditetapkan oleh Nabi) dan sebagian lagi bersifat ijtihadi (hasil ijtihad sahabat). Pandangan ini dianggap oleh beberapa ulama sebagai yang paling mendekati kebenaran, mengingat adanya hadis yang mendukung kedua pendapat tersebut.

Klasifikasi Surat Berdasarkan Jumlah Ayat

Selain perbedaan pendapat mengenai urutan dan penamaan, surat-surat Al-Qur'an juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah ayatnya menjadi empat kategori: surat thiwal (panjang), al-mi'un (yang berisi seratus ayat atau lebih), al-matsani (yang kurang dari seratus ayat), dan al-mufashshal (surat-surat yang terbagi-bagi, seringkali dibedakan lagi menjadi tiga sub-kategori: thiwal, ausath, dan qishar).

Kesimpulannya, pemahaman yang mendalam mengenai Al-Qur'an memerlukan pemahaman yang komprehensif tentang sejarah penyusunan dan perbedaan pendapat ulama dalam menafsirkan berbagai aspeknya. Perbedaan-perbedaan ini bukanlah pertanda perpecahan, melainkan menunjukkan kekayaan interpretasi dan kerumitan yang melekat pada teks suci tersebut.