Kekosongan Obat Transplantasi Ginjal: Kemenkes Jelaskan Kebijakan dan Tanggapi Keluhan Pasien

Kekosongan Obat Transplantasi Ginjal: Kemenkes Jelaskan Kebijakan dan Tanggapi Keluhan Pasien

Kelangkaan obat imunosupresan, tacrolimus, yang dialami pasien transplantasi ginjal telah menimbulkan kekhawatiran dan protes dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). KPCDI melaporkan sejumlah anggotanya mengalami kesulitan mendapatkan tacrolimus selama beberapa bulan, memaksa mereka untuk saling berbagi obat dan menunggu pasokan kembali tersedia. Kekhawatiran utama adalah dampak potensial terhadap angka harapan hidup para pasien pasca transplantasi. Situasi ini semakin diperparah dengan pergantian obat tacrolimus originator menjadi versi non-originator yang ditanggung BPJS Kesehatan. Berdasarkan survei KPCDI terhadap 23 pasien, ditemukan peningkatan kadar kreatinin pada 39% pasien, dengan 13% di antaranya melebihi batas normal. Selain itu, 52% pasien mengalami efek samping, termasuk satu kasus reaksi alergi yang memerlukan perawatan intensif. Temuan ini memicu pertanyaan mengenai efektivitas dan keamanan obat non-originator.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Lucia Rizka Andalucia, memberikan penjelasan terkait kebijakan ini dalam diskusi publik Hari Ginjal Sedunia 2025. Ia menegaskan bahwa obat-obatan baru yang terdaftar dalam Formularium Nasional (Fornas) telah melalui uji klinis dan dinyatakan aman serta efektif oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Fornas sendiri merupakan daftar obat yang digunakan sebagai acuan resep dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Rizka juga menekankan bahwa pergantian obat bukan untuk efisiensi anggaran, melainkan untuk memaksimalkan cost effective dalam pembiayaan obat dan perawatan pasien BPJS. Pemerintah, menurutnya, berupaya mendapatkan harga obat yang paling efisien, mengingat keterbatasan anggaran dan kebutuhan untuk menanggulangi berbagai penyakit lain seperti jantung dan kanker.

Terkait selisih harga antara tacrolimus originator dan non-originator yang mencapai Rp 2 juta, Rizka menjelaskan bahwa pasien tetap dapat mengakses tacrolimus originator dengan menanggung selisih biaya sendiri atau melalui asuransi swasta. Mengenai kekosongan stok, Rizka mengakui adanya lonjakan permintaan tacrolimus pada tahun 2024, namun membantah hal tersebut terkait dengan efisiensi anggaran. Ia memastikan bahwa ketersediaan tacrolimus originator tetap ada, dan pasien dapat memilih sesuai preferensi dengan menanggung selisih biaya. Namun, Rizka juga menyoroti kecilnya sampel survei KPCDI (23 pasien) yang dianggap tidak cukup representatif untuk menggambarkan situasi di lapangan. Ia meminta bukti objektif, seperti hasil laboratorium, untuk laporan efek samping obat kepada BPOM. Laporan berupa testimoni saja dinilai tidak cukup untuk melakukan peninjauan kembali peredaran obat. Lebih lanjut, Rizka menegaskan kembali bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah tidak terkait dengan pengadaan obat, melainkan meliputi aspek operasional seperti perjalanan dinas dan rapat.

Secara keseluruhan, penjelasan Kemenkes menekankan pada upaya pemerintah untuk menyeimbangkan akses obat yang terjangkau dengan kualitas dan efektivitas pengobatan. Namun, keluhan pasien terkait kekosongan obat dan efek samping dari obat pengganti tetap menjadi perhatian yang perlu ditindaklanjuti melalui investigasi lebih lanjut dan peningkatan komunikasi antara pemerintah, BPJS Kesehatan, dan para pasien.

Catatan: Jumlah pasien transplantasi ginjal di RSCM pada tahun 2024 mencapai 1.131, sedangkan di rumah sakit swasta seperti Siloam Asri terdapat 345 pasien.