Sengketa Warisan Berujung Tragis: Rumah Dibelah Dua, Impian Lenyap di Polewali Mandar

Di sebuah perkampungan yang tenang di Rea Timur, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berdiri sebuah rumah kayu ulin yang menyimpan cerita pilu. Bukan bencana alam yang merenggut separuh bangunannya, melainkan sengketa warisan yang pahit dan proses hukum yang tak terhindarkan.

Rumah yang dulunya menjadi saksi bisu cinta dan kerja keras Haji Jamaluddin dan mendiang istrinya, Sitti Ani, kini terbelah oleh putusan pengadilan dan deru mesin gergaji. Haji Jamaluddin, seorang lelaki senja yang berasal dari Petobong, Pinrang, Sulawesi Selatan, kini hanya bisa menatap sisa-sisa impiannya yang hancur.

Puluhan tahun silam, Haji Jamaluddin dan Sitti Ani merantau ke Tarakan, Kalimantan Utara. Dengan tekun mereka mengelola tambak udang, mengumpulkan setiap rupiah demi mewujudkan rumah impian mereka. Rumah adat yang dibangun dengan kayu ulin terbaik dan sentuhan ukiran Jepara ini menjadi simbol cinta abadi dan buah dari kerja keras mereka.

Namun, takdir berkata lain. Setelah Sitti Ani berpulang, badai masalah datang menerjang. Keponakan-keponakan dari pihak istri mengajukan gugatan waris, mengusik ketenangan Haji Jamaluddin yang masih berduka dan menghuni rumah tersebut.

"Saya membangun rumah ini bersama istri dari hasil keringat bertahun-tahun di Kalimantan. Belum juga saya mati, mereka sudah berusaha merebutnya, padahal mereka tidak punya andil apa pun," ungkap Haji Jamaluddin dengan nada getir.

Seharusnya, berdasarkan hukum Islam, suami adalah ahli waris utama jika istri meninggal tanpa meninggalkan anak. Namun, pengadilan agama memutuskan bahwa rumah dan lahan tersebut harus dibagi dua. Keputusan ini semakin menyakitkan karena menurut beberapa warga, gugatan serupa pernah ditolak oleh ketua pengadilan agama sebelumnya.

Keputusan pengadilan ini kemudian berkekuatan hukum tetap setelah melalui proses hingga Mahkamah Agung. Isu dugaan praktik tidak terpuji sempat mencuat di kalangan masyarakat, meskipun belum ada bukti yang kuat untuk mendukungnya.

"Rumah ini dibangun oleh Jamaluddin sendiri, mengapa harus dibelah saat dia masih hidup?" ujar seorang warga yang menyaksikan eksekusi dengan perasaan miris.

Eksekusi rumah berlangsung dengan penuh ketegangan. Warga yang menolak eksekusi sempat terlibat aksi saling dorong dengan aparat keamanan. Beberapa orang bahkan ditangkap karena kedapatan membawa senjata tajam. Tiang-tiang rumah dipotong satu per satu dengan gergaji mesin, merobohkan separuh bangunan di hadapan Haji Jamaluddin yang hanya bisa terpaku menyaksikan.

Kapolres Polewali Mandar, AKBP Anjar Purwoko, menjelaskan bahwa eksekusi dilakukan karena putusan pengadilan telah inkrah dan upaya mediasi sebelumnya tidak berhasil mencapai kesepakatan.

"Kedua belah pihak telah diberikan kesempatan untuk berkompromi, tetapi tidak menemukan titik temu. Pengadilan akhirnya mengambil jalan eksekusi," jelas Kapolres.

Saat ini, Haji Jamaluddin tinggal di sisa rumahnya bersama seorang keponakan yang setia mendampinginya. Ia pernah menikah lagi, namun tetap memilih untuk tinggal di rumah yang penuh kenangan bersama mendiang istrinya.

Kisah ini menjadi potret menyedihkan tentang bagaimana hukum, yang seharusnya menjadi pilar keadilan, terkadang justru menafikan hak dan jerih payah seseorang yang masih hidup.

"Palu diketuk. Rumah dibelah. Separuh hidupnya dirampas secara sah oleh keputusan negara," tulis seorang warganet dengan nada prihatin di media sosial.