Polemik Pulau Aceh-Sumut, Perjanjian Helsinki Kembali Jadi Sorotan
Polemik terkait kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kembali menghangat, menyeret Perjanjian Helsinki sebagai rujukan penting. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyinggung perjanjian damai tersebut saat menanggapi sengketa atas Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar.
JK menjelaskan bahwa Perjanjian Helsinki memuat poin-poin mengenai batas wilayah Aceh, yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Undang-undang ini mengatur pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh serta perubahan peraturan pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
"Banyak yang bertanya tentang MoU di Helsinki. Karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu, ada di poin 1.1.4, yang berbunyi 'Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956'. Jadi, kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ," ujar JK di kediamannya, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Lantas, apa sebenarnya Perjanjian Helsinki yang kini menjadi sorotan?
Perjanjian Helsinki adalah sebuah kesepakatan damai bersejarah yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005. Penandatanganan ini menjadi tonggak penting dalam mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade di Aceh.
Sebelum perjanjian ini terwujud, GAM merupakan sebuah organisasi separatis yang berjuang untuk memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1976 dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa.
GAM, yang dipimpin oleh Hasan di Tiro dari pengasingannya di Swedia selama hampir tiga dekade, melancarkan berbagai aksi gerilya untuk mencapai tujuannya. Namun, konflik berkepanjangan ini membawa dampak buruk bagi masyarakat Aceh, terutama dalam hal keamanan dan pembangunan.
Menyadari dampak buruk dari konflik yang berkepanjangan, pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mengajak GAM berunding. Perundingan tersebut difasilitasi oleh pihak ketiga dan berlangsung di Helsinki, Finlandia, pada tahun 2005. Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut diwakili oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja. Sementara itu, dari pihak GAM hadir Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.
Perundingan Helsinki berlangsung selama lima putaran, dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005, menghasilkan beberapa poin penting, termasuk pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh. Otonomi khusus ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Perjanjian Helsinki terdiri dari enam bagian utama, meliputi:
- Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
- Hak Asasi Manusia
- Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat
- Pengaturan Keamanan
- Pembentukan Misi Monitoring Aceh
- Penyelesaian Perselisihan
Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dan perwakilan GAM Malik Mahmud Al Haytar menekankan komitmen kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai dan bermartabat. MoU ini juga menegaskan tekad untuk menciptakan pemerintahan rakyat Aceh melalui proses demokratis dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berikut adalah beberapa kutipan penting dari MoU tersebut:
- "Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara terhormat bagi semua pihak, dengan solusi yang damai, menyeluruh, dan berkelanjutan."
- "Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia."
- "Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca-tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan."
- "Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi."