Gelombang Efisiensi Anggaran Pemerintah Picu Perampingan Karyawan di Sektor Perhotelan dan Restoran

Kabar mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantam sektor pariwisata, khususnya di Bali, memicu reaksi dari berbagai pihak. Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) memberikan keterangan terkait kondisi terkini industri pariwisata di Indonesia. Menurut asosiasi tersebut, gelombang PHK yang terjadi merupakan imbas dari kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah daerah dan pusat.

Ketua Umum DPP ASITA, Rusmiati, menjelaskan bahwa pembatasan kegiatan Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) menjadi faktor utama pemicu PHK, terutama di subsektor perhotelan dan restoran. Kebijakan ini berdampak signifikan terhadap penurunan tingkat hunian hotel, memaksa para pengelola untuk mengambil langkah efisiensi dengan merumahkan sebagian karyawan, khususnya mereka yang berada di level operasional. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menjadi wilayah yang paling merasakan dampak dari kebijakan ini.

"Sejak awal tahun 2025, pemerintah daerah dan instansi pusat menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, termasuk pembatasan kegiatan MICE di hotel. Hal ini menyebabkan penurunan okupansi hotel hingga 20-30%, memaksa banyak pengelola hotel untuk merumahkan sebagian karyawan, terutama di level operasional," ujar Rusmiati.

Di Bali, fenomena PHK juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu menjamurnya penginapan pribadi dan akomodasi tidak resmi yang dipasarkan melalui platform online. Hal ini menciptakan anomali, di mana kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tetap stabil, bahkan cenderung meningkat, namun hotel-hotel resmi justru mengalami penurunan pendapatan. Kondisi ini memaksa pengelola hotel untuk melakukan pengurangan tenaga kerja secara bertahap, meskipun tidak diumumkan secara besar-besaran.

"Wisatawan ramai, tapi hotel resmi sepi. Ini berdampak langsung pada pendapatan hotel legal dan pengurangan tenaga kerja secara bertahap, meski tidak diumumkan secara besar-besaran," jelasnya.

Secara nasional, PHK di sektor pariwisata juga berdampak pada penurunan perjalanan wisata ke sejumlah destinasi. Melemahnya daya beli masyarakat akibat PHK turut mempengaruhi keputusan pembelian tiket perjalanan. Meskipun demikian, sektor perjalanan wisata relatif lebih stabil karena struktur kerjanya yang fleksibel, dengan mengandalkan tenaga kontrak lepas seperti pemandu wisata freelance. Dalam kondisi penurunan permintaan, perusahaan perjalanan wisata cenderung mengurangi jam kerja atau menunda proyek, daripada melakukan PHK secara besar-besaran.

Di sisi lain, Rusmiati menegaskan bahwa permintaan di industri pariwisata secara umum masih menunjukkan tren pertumbuhan. Data menunjukkan bahwa hingga April 2025, tercatat sebanyak 410,99 juta perjalanan wisatawan nusantara (wisnus), meningkat 15,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada kuartal I 2025 mencapai 2,74 juta.

Provinsi di Pulau Jawa masih menjadi tujuan utama perjalanan wisata, dengan total 84,07 juta perjalanan atau sekitar 65,38% dari total perjalanan nasional. Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah kunjungan wisatawan tertinggi.

  • Faktor Pemicu PHK:
    • Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah
    • Pembatasan kegiatan MICE
    • Menjamurnya akomodasi tidak resmi
  • Dampak:
    • Penurunan tingkat hunian hotel
    • Pengurangan tenaga kerja di sektor perhotelan dan restoran
    • Penurunan perjalanan wisata
  • Tren Positif:
    • Pertumbuhan perjalanan wisatawan nusantara
    • Kunjungan wisatawan mancanegara yang stabil

"Secara agregat, kami melihat demand tetap tumbuh," pungkas Rusmiati.