Kualitas Air Sungai di Indonesia Mengkhawatirkan: Didominasi Pencemaran Limbah dan Sampah
Kondisi sungai-sungai di Indonesia saat ini berada dalam sorotan tajam. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan bahwa lebih dari 60% sungai di berbagai wilayah Indonesia mengalami pencemaran yang signifikan. Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas air yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan sehari-hari.
Fakta yang mencengangkan adalah, dari sepuluh provinsi dengan kualitas air terburuk, enam di antaranya berlokasi di Pulau Jawa. Padahal, Jawa merupakan pusat kegiatan ekonomi dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan lingkungan yang besar akibat aktivitas manusia.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menjelaskan bahwa pencemaran sungai berasal dari berbagai sumber yang kompleks. Limbah domestik, yang meliputi air limbah rumah tangga dan sampah organik, menjadi salah satu penyumbang utama. Selain itu, limbah industri yang tidak diolah dengan baik, penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan dalam aktivitas pertanian, serta sampah plastik yang dibuang sembarangan ke sungai, semakin memperparah kondisi pencemaran.
Indeks Kualitas Air (IKA) nasional pada tahun 2024 menunjukkan angka 51,78. Angka ini masih jauh di bawah target yang ditetapkan, dan menunjukkan bahwa upaya perbaikan kualitas air perlu ditingkatkan secara signifikan. Penurunan kualitas air juga terjadi pada sungai-sungai strategis yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan ekosistem. Sungai Citarum, Brantas, Musi, dan Batanghari, adalah contoh sungai-sungai yang mengalami penurunan kualitas selama tiga tahun terakhir.
Ketidakmerataan dalam ketersediaan air juga menjadi masalah serius. Pulau Jawa, dengan tingkat pemanfaatan air yang tinggi, hanya memiliki indeks pemanfaatan air sebesar 0,27. Kebutuhan air untuk sektor pangan mencapai lebih dari 30 ribu juta meter kubik per tahun. Sebaliknya, wilayah Papua memiliki indeks pemanfaatan air yang jauh lebih tinggi, yaitu 1,89. Hal ini menunjukkan potensi ketersediaan air yang melimpah di Papua, namun belum dimanfaatkan secara optimal.
Kementerian Lingkungan Hidup telah menetapkan arah kebijakan berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Nasional. RPPLH Nasional menyoroti beberapa isu strategis, antara lain:
- Penurunan daya dukung dan kualitas air akibat pencemaran dan eksploitasi berlebih.
- Alih fungsi lahan pertanian dan lahan basah yang mengganggu keseimbangan hidrologi.
- Ketimpangan spasial antara wilayah yang kekurangan air dan wilayah dengan cadangan air yang melimpah.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Lingkungan Hidup akan fokus pada lima langkah utama:
- Pemutakhiran data daya dukung air berbasis spasial dan ekoregion.
- Restorasi daerah aliran sungai (DAS) prioritas, termasuk Citarum, Batanghari, Mahakam, Kapuas, Ciliwung, Brantas, dan Bengawan Solo.
- Integrasi nexus dan Payment for Ecosystem Services (PES) dalam perencanaan pembangunan.
- Penguatan kolaborasi sektoral dan antarwilayah.
- Edukasi publik dan penguatan kesadaran generasi muda melalui program-program seperti sekolah peduli air, komunitas patroli sungai, dan masyarakat peduli gambut untuk perlindungan lahan basah.