Polemik Pernyataan Fadli Zon Soal Tragedi Mei 1998, Istana Minta Sejarawan Turun Tangan

Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, terkait peristiwa kelam pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998, telah memicu gelombang kritik dari berbagai pihak. Kantor Kepresidenan melalui Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Hasan Nasbi, angkat bicara mengenai kontroversi ini. Alih-alih memberikan penilaian langsung terhadap substansi pernyataan Fadli Zon, Hasan Nasbi memilih untuk menyerahkan sepenuhnya interpretasi dan analisis sejarah kepada para ahli.

Menurut Hasan Nasbi, Kementerian Kebudayaan saat ini tengah menyusun narasi sejarah yang komprehensif terkait peristiwa tersebut. Ia menekankan pentingnya memberikan ruang dan waktu bagi para sejarawan untuk melakukan penelitian dan penulisan secara seksama dan bertanggung jawab. Hasan Nasbi juga menghimbau agar publik menghindari spekulasi dan perdebatan yang kontraproduktif, yang justru dapat menghambat proses penulisan sejarah yang objektif dan akurat. Pernyataan ini disampaikan Hasan Nasbi kepada awak media di Gedung Kwarnas Pramuka, Jakarta Pusat.

"Mari kita sama-sama beri waktu para sejarawan untuk menuliskan. Ini kan sekarang semua dalam proses dan dalam proses ini terlalu banyak spekulasi-spekulasi yang menyatakan ini tidak ada, ini ada, coba kita biarkan para sejarawan ini menuliskan ini, dan untuk nanti kita pantau kita pelototi kita periksa bareng-bareng," ujar Hasan, menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam mengawal proses ini.

Hasan Nasbi meyakini bahwa Kementerian Kebudayaan akan melibatkan sejarawan yang kredibel dan memiliki kompetensi yang mumpuni dalam menyusun narasi sejarah yang akurat dan berimbang. Ia juga membuka pintu bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan masukan, namun dengan cara yang konstruktif dan berbasis pada dialog dengan para ahli sejarah.

"Kalau ada kritik dan masukan silakan, tapi kalau hanya pergunjingan-pergunjingan di media sosial ya, citra-citra negatif yang seperti yang anda sebutkan apalagi dari orang-orang yang kalau dia mengerti sejarah silakan dialog dengan para ahli sejarah. Kalau bukan ahli sejarah ya kita baca sebagai macam bacaan-bacaan saja ya, bacaan di media sosial ya," tegasnya.

Sebelumnya, pernyataan Fadli Zon dalam sebuah wawancara telah menuai kecaman luas dari berbagai kalangan, termasuk para aktivis HAM dan korban kekerasan seksual. Fadli Zon mengklaim bahwa laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait peristiwa Mei 1998 tidak memiliki data pendukung yang solid terkait kasus pemerkosaan massal.

Menanggapi kritik tersebut, Fadli Zon memberikan klarifikasi bahwa dirinya tidak bermaksud untuk menihilkan penderitaan korban atau menafikan terjadinya kekerasan seksual. Ia menekankan bahwa segala bentuk kekerasan seksual adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Fadli Zon juga menambahkan bahwa pernyataannya dalam wawancara tersebut bertujuan untuk menyoroti perlunya ketelitian dan kehati-hatian dalam penggunaan istilah 'perkosaan massal', yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter bangsa.

Fadli Zon mengapresiasi perhatian publik terhadap sejarah, termasuk era transisi reformasi Mei 1998. Ia mengakui bahwa peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 menimbulkan beragam perspektif, termasuk mengenai ada atau tidaknya perkosaan massal. Menurutnya, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka pun belum bisa mengungkap fakta-fakta kuat soal 'massal' ini. Ia menekankan perlunya verifikasi berbasis fakta yang kuat karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," tegas Fadli Zon dalam keterangannya.