Masjid sebagai Mahar Nikah: Tinjauan Hukum Islam dan Konsekuensinya
Masjid sebagai Mahar Nikah: Tinjauan Hukum Islam dan Konsekuensinya
Masalah penggunaan bangunan masjid sebagai mahar pernikahan dalam Islam telah menimbulkan pertanyaan dan perdebatan. Praktik ini, meski mungkin terlintas dalam pemikiran sebagian orang, perlu dikaji secara mendalam berdasarkan prinsip-prinsip fikih yang berlaku. Hukum Islam mengatur secara detail mengenai mahar, yang merupakan kewajiban suami kepada istri sebagai tanda kesungguhan dan komitmen dalam pernikahan. Mahar, secara etimologi, berarti maskawin, dan secara terminologi didefinisikan sebagai pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri. Pemberian ini bukan sekadar transaksi materi, melainkan juga simbol ikatan suci dan tanggung jawab suami dalam memenuhi kebutuhan lahir batin istri dan anak-anaknya.
Menurut berbagai rujukan fikih, seperti yang dikutip dari karya Beni Ahmad Saebani, Abdul Rahman Ghozali, dan ulama-ulama lainnya, mahar harus memenuhi beberapa syarat penting. Syarat-syarat tersebut antara lain:
- Harta atau benda berharga: Mahar harus berupa sesuatu yang memiliki nilai ekonomis dan dapat diperjualbelikan. Barang yang tidak berharga atau tidak memiliki nilai tukar tidak sah dijadikan mahar.
- Suci dan bermanfaat: Mahar haruslah benda yang suci dan dapat dimanfaatkan. Barang haram seperti khamar (minuman keras) atau babi, jelas tidak diperbolehkan.
- Bukan barang ghasab: Mahar tidak boleh berasal dari barang yang diambil secara paksa atau tanpa izin pemiliknya. Meskipun akad nikah tetap sah, mahar yang demikian tetap dianggap tidak valid.
- Kejelasan kondisi dan jenis: Mahar harus memiliki spesifikasi yang jelas, baik jenis maupun kondisinya, agar tidak menimbulkan keraguan atau sengketa di kemudian hari.
Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa bangunan masjid tidak memenuhi syarat sebagai mahar yang sah. Hal ini ditegaskan oleh Ustadz Muhammad Zainul Millah dari Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar, yang menyatakan bahwa masjid, sebagai wakaf, merupakan milik Allah SWT dan tidak dapat dimiliki atau dipindahkan kepemilikannya kepada siapa pun. Penggunaan masjid sebagai mahar dianggap tidak sah karena kepemilikannya tidak dapat dialihkan. Meskipun akad nikah tetap sah, kewajiban suami untuk menyerahkan mahar tetap ada, dengan mengganti mahar tersebut dengan mahar mitsil, yakni mahar standar yang lazim diberikan di masyarakat setempat.
Pandangan ini diperkuat oleh berbagai dalil dan pemahaman fikih yang menekankan bahwa mahar harus berupa barang yang dapat dimiliki dan dialihkan kepemilikannya. Hadits dan pendapat ulama seperti Syekh Zainuddin Al-Malibari, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Muhammad Ar-Ramli, dan Ibnu Hajar Al-Haitami, semuanya konsisten dengan pandangan bahwa setiap barang yang bukan milik suami, termasuk bangunan wakaf seperti masjid, tidak sah dijadikan mahar. Penggunaan mahar mitsil dalam kasus ini bertujuan untuk tetap menjaga kesahan akad nikah dan memenuhi hak-hak istri.
Kesimpulannya, penggunaan bangunan masjid sebagai mahar pernikahan tidak sah menurut hukum Islam. Meskipun akad nikah tetap sah, suami wajib memberikan mahar mitsil sebagai pengganti. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip fikih yang mengatur tentang mahar, kepemilikan wakaf, dan syarat-syarat sahnya suatu mahar.