Perbedaan Metode Pengukuran Kemiskinan: Bank Dunia Ungkap Alasannya Tak Sejalan dengan BPS
Bank Dunia baru-baru ini memberikan penjelasan mengenai perbedaan metodologi yang digunakan dalam mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, yang menghasilkan data yang berbeda dengan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Perbedaan ini menjadi sorotan karena implikasinya terhadap pemahaman dan penanganan isu kemiskinan di tanah air.
Dalam sebuah Factsheet berjudul 'The World Bank's Updated Global Poverty Lines: Indonesia' yang diterbitkan pada 13 Juni 2025, Bank Dunia menjelaskan bahwa standar pengukuran kemiskinan internasional mereka telah diperbarui dengan menggunakan standar paritas daya beli (PPP) tahun 2021, menggantikan standar PPP tahun 2017 yang sebelumnya digunakan. Pembaruan ini dilakukan untuk memastikan bahwa pengukuran kemiskinan dapat mencerminkan kondisi global secara akurat dan relevan.
Menurut Bank Dunia, tujuan utama dari penetapan garis kemiskinan internasional adalah untuk memfasilitasi perbandingan antar negara dan memantau perkembangan upaya pengentasan kemiskinan di seluruh dunia. Dengan menggunakan standar PPP 2021, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem sebesar US$ 3,00 per hari, yang setara dengan sekitar Rp 546.400 per bulan setelah disesuaikan dengan biaya hidup di Indonesia. Selain itu, terdapat pula garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (LMIC) sebesar US$ 4,20 per hari (sekitar Rp 765.000 per orang per bulan), dan negara berpendapatan menengah atas (UMIC) sebesar US$ 8,30 per hari (sekitar Rp 1.512.000 per orang per bulan).
Berdasarkan standar garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru ini, Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2024, sekitar 5,4% penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan ekstrem. Sementara itu, jika menggunakan garis kemiskinan LMIC, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 19,9%, dan jika menggunakan garis kemiskinan UMIC, angkanya melonjak menjadi 68,3%. Mengingat Indonesia telah diklasifikasikan sebagai negara UMIC oleh Bank Dunia sejak tahun 2023, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 68,3% dari total populasi, atau sekitar 194,72 juta jiwa. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan standar PPP 2017 yang menunjukkan angka 171,91 juta jiwa.
Bank Dunia mengakui bahwa penggunaan ambang batas yang lebih tinggi dalam pengukuran kemiskinan internasional dapat menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Namun, hal ini tidak berarti bahwa upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak berhasil. Bank Dunia menekankan bahwa definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena tujuan penggunaannya pun berbeda.
Garis kemiskinan nasional, yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, dirancang khusus untuk mencerminkan kondisi dan konteks negara. Garis kemiskinan ini digunakan sebagai dasar untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan di tingkat nasional, seperti menargetkan bantuan kepada masyarakat miskin. Sementara itu, standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia bertujuan untuk memfasilitasi perbandingan antar negara dan memantau kemajuan global dalam pengurangan kemiskinan.
Bank Dunia menegaskan bahwa garis kemiskinan nasional Indonesia tetap menjadi ukuran yang paling relevan untuk diskusi kebijakan yang spesifik untuk negara tersebut. Sementara itu, ukuran kemiskinan global yang baru dimaksudkan untuk membandingkan posisi Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala global.
Bank Dunia juga menekankan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang kemiskinan yang dapat memenuhi semua tujuan. Garis kemiskinan internasional yang mereka publikasikan sesuai untuk memantau kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain. Namun, untuk menjawab pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS tetap menjadi sumber informasi yang paling tepat.