QRIS: Inovasi Pembayaran Digital Indonesia Sebagai Instrumen Soft Power di Era Globalisasi
QRIS: Pilar Kedaulatan Ekonomi Digital Indonesia
Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), sistem pembayaran digital yang diluncurkan Bank Indonesia pada 17 Agustus 2019, kini menjadi sorotan global. Lebih dari sekadar alat transaksi, QRIS menjelma menjadi simbol kemandirian ekonomi digital Indonesia di tengah dominasi sistem keuangan global.
Sistem QRIS menyederhanakan pembayaran digital dengan mengintegrasikan berbagai metode pembayaran dalam satu kode QR. Namun, di balik kemudahan ini, tersembunyi potensi strategis. Laporan National Trade Estimate (NTE) Amerika Serikat pada Maret 2025 mengindikasikan kekhawatiran atas potensi QRIS dalam menghambat akses sistem pembayaran asing seperti Visa dan Mastercard.
Nofie Iman Vidya Kemal, Dosen FEB UGM, menegaskan bahwa QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) esensial untuk ketahanan dan kedaulatan ekonomi. Logikanya sederhana: transaksi domestik sebaiknya diproses secara domestik, mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran asing. QRIS berpotensi menjadi instrumen diplomasi ekonomi, memperluas pengaruh Indonesia di kawasan. Negara-negara tetangga mulai mengembangkan sistem serupa seperti SGQR (Singapura), DuitNow (Malaysia), dan PromptPay (Thailand), membuka peluang konektivitas pembayaran lintas negara dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
QRIS dan Konsep Soft Power
Dalam konteks globalisasi, kekuatan bukan hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi. Joseph Nye, pencetus konsep soft power, mendefinisikannya sebagai kemampuan memengaruhi melalui daya tarik, bukan paksaan. QRIS memiliki dimensi ini, menunjukkan kemampuan Indonesia menghasilkan solusi teknologi yang otonom dan efisien, tanpa bergantung pada sistem keuangan Barat.
Imperialisme digital, di mana kekuatan dikendalikan melalui data, algoritma, dan platform digital yang didominasi perusahaan teknologi AS, menjadi tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Ketergantungan pada media sosial, layanan cloud, dan sistem pembayaran digital asing dapat melemahkan kedaulatan negara dalam pengambilan keputusan. QRIS menjadi penyeimbang, menunjukkan bahwa Indonesia mampu menciptakan alternatif.
QRIS menjadi bagian dari diplomasi digital Indonesia, membangun kedaulatan ekonomi digital dan memperluas pengaruh regional. Dari sudut pandang soft power, QRIS adalah bukti bahwa negara berkembang mampu menghasilkan solusi teknologi yang otonom, efisien, dan terintegrasi secara global. Ini adalah simbol perlawanan terhadap dominasi global, bukan melalui konfrontasi, tetapi melalui efisiensi, kemandirian, dan inovasi lokal.
Respons internasional terhadap QRIS bervariasi. Media internasional cenderung melihatnya dalam konteks inklusi keuangan, sementara media nasional dan regional menyoroti kemandirian teknologi Indonesia. Dalam diplomasi digital, QRIS memperkuat daya tawar Indonesia di panggung internasional.
Masa Depan QRIS
QRIS bukan sekadar alat pembayaran, melainkan representasi kedaulatan ekonomi digital Indonesia di tengah dominasi sistem keuangan global. Dalam hubungan internasional, QRIS berpotensi menjadi instrumen soft power dan diplomasi digital, menunjukkan kemampuan negara berkembang untuk mandiri secara teknologi dan menciptakan solusi lokal yang efisien dan terintegrasi.
Di era imperialisme digital yang dikendalikan oleh korporasi raksasa asing, QRIS adalah bentuk perlawanan strategis terhadap ketergantungan sistemik. Meski belum menggantikan Visa dan Mastercard secara global, QRIS membuka ruang bagi Indonesia untuk memperluas pengaruh regional, memperkuat posisi tawar, dan memimpin narasi kemandirian digital di Global South. QRIS adalah langkah awal menuju kedaulatan digital yang lebih luas dan berdaulat.