Aktivis Global Gencarkan "Global March to Gaza": Upaya Tekan Agresi dan Solidaritas untuk Palestina

Aksi Global Gencarkan Tekanan pada Agresi di Gaza

Ribuan aktivis dari berbagai belahan dunia bersatu dalam sebuah gerakan solidaritas masif bertajuk "Global March to Gaza". Aksi ini bertujuan untuk mendesak para pemimpin dunia untuk segera mengakhiri agresi militer Israel yang mereka nilai sebagai tindakan genosida terhadap rakyat Palestina.

Dipimpin oleh kelompok Koordinasi Aksi Bersama untuk Palestina, para aktivis ini melancarkan aksi pawai darat yang dikenal sebagai Konvoi Sumud. Konvoi ini memulai perjalanannya pada 9 Juni 2025, dengan sekitar seribu peserta dari wilayah Maghreb, termasuk Tunisia dan Aljazair, tiba di Libya pada 10 Juni 2025, setelah memulai perjalanan dari Tunis. Sebagian besar peserta adalah warga sipil yang tergerak oleh krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Mereka berharap aksi ini dapat menggugah kesadaran dunia dan mendorong tindakan nyata.

Ghaya Ben Mbarek, seorang jurnalis independen dari Tunisia yang ikut serta dalam pawai ini, mengungkapkan bahwa keikutsertaannya didorong oleh keyakinannya akan kebenaran. Sebagai seorang jurnalis, ia merasa terpanggil untuk berdiri di sisi sejarah yang benar, yaitu dengan menghentikan genosida dan mencegah kematian akibat kelaparan.

Rute Panjang Menuju Rafah

Setelah melintasi Tunisia dan Libya, rombongan konvoi melanjutkan perjalanan menuju Kairo, Mesir. Di sana, mereka akan bergabung dengan ratusan aktivis lainnya dari lebih dari 50 negara untuk kemudian bergerak menuju Rafah, gerbang perbatasan antara Mesir dan Gaza. Para peserta diperkirakan akan menempuh perjalanan sejauh 50 kilometer.

Perjalanan ini tidaklah mudah. Selain medan yang berat, perizinan untuk melintasi wilayah timur Libya hingga wilayah militer Mesir menjadi kendala yang signifikan. Hingga 10 Juni 2025, konvoi tersebut belum memperoleh izin resmi untuk melintasi wilayah timur Libya.

Para peserta menyadari risiko yang ada. Namun, mereka bertekad untuk menunjukkan kepada dunia bahwa diam bukanlah pilihan. Mereka menegaskan bahwa meskipun upaya mereka dihalangi melalui laut atau udara, mereka akan datang dengan ribuan orang melalui darat untuk menghentikan kelaparan yang merenggut nyawa.

Solidaritas Lintas Batas

Aksi "Global March to Gaza" didukung oleh berbagai organisasi besar, seperti Serikat Buruh Umum Tunisia, Asosiasi Pengacara Nasional, Liga Hak Asasi Manusia Tunisia, dan Forum Hak Ekonomi dan Sosial Tunisia. Selain itu, jaringan internasional juga turut ambil bagian, termasuk Codepink Women for Peace dari AS, Jewish Voice for Labour dari Inggris, dan Gerakan Pemuda Palestina.

Para aktivis berkumpul di Kairo pada 12 Juni 2025. Kontingen dari Indonesia terdiri dari Zaskia Adya Mecca, Ratna Galih, Indadari, Wanda Hamidah, dan enam WNI lainnya yang tergabung dalam kontingen Malaysia.

Namun, kendala besar masih menghadang. Pemerintah Mesir belum mengeluarkan izin resmi bagi para aktivis untuk memasuki zona militer antara El Arish dan perbatasan Rafah. Bahkan, para peserta long march dianggap ilegal dan berisiko ditangkap oleh polisi. Sejumlah pengamat menilai bahwa konvoi ini kemungkinan besar tidak akan dapat mencapai Gaza, apalagi memasuki wilayah yang dijaga ketat oleh militer Israel.

Meski demikian, para peserta menegaskan bahwa tujuan utama mereka bukanlah sekadar memasuki Gaza, melainkan untuk membangkitkan tekanan publik global agar perang segera dihentikan.

Upaya Berkelanjutan dan Krisis Kemanusiaan di Gaza

Selama bertahun-tahun, para pendukung Palestina telah melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian dunia terhadap penderitaan warga Gaza. Aksi protes telah digelar di berbagai ibu kota dunia, dan upaya hukum telah ditempuh terhadap para pejabat yang dianggap mendukung agresi Israel di Gaza.

Aksi solidaritas juga dilakukan melalui laut, dengan para aktivis berlayar membawa bantuan kemanusiaan menuju Gaza, berusaha menembus blokade ketat yang diberlakukan Israel sejak 2007. Namun, upaya ini selalu dihadang, bahkan diserang, seperti insiden Mavi Marmara pada 2010 yang menewaskan sembilan aktivis.

Sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 126.000 lainnya terluka. Pengepungan Israel menyebabkan kelaparan massal, yang oleh pakar hukum disebut sebagai bentuk genosida.

Di tengah krisis kemanusiaan yang mengerikan ini, para aktivis terus bergerak, berupaya untuk membawa perubahan dan mengakhiri penderitaan rakyat Gaza.