Kementerian Komunikasi dan Informatika Masih Beri Kesempatan Platform Media Sosial Adaptasi dengan PP Tunas

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengambil pendekatan bertahap dalam menegakkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) tentang Perlindungan Anak di ranah digital. Alih-alih langsung menjatuhkan sanksi, Kominfo saat ini fokus pada sosialisasi dan memberikan waktu bagi platform media sosial untuk menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut.

Dalam sebuah acara bertajuk "Klik Aman, Anak Nyaman: Bijak Gawai, Cerdas Online" di Makassar, Menteri Komunikasi dan Informatika, Meutya Hafid, menjelaskan bahwa pihaknya menyadari platform memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri. Oleh karena itu, penegakan sanksi belum akan dilakukan secara serta merta.

"Kami selalu mengundang perwakilan platform untuk memberikan penjelasan dan sosialisasi. Kami menekankan bahwa sanksi akan diberlakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PP," ujar Meutya.

Kominfo, lanjutnya, berkomitmen untuk memberikan ruang adaptasi yang wajar. Namun, ia menegaskan bahwa ketidakpatuhan pada akhirnya akan berujung pada sanksi. Sebelum PP Tunas diberlakukan, Kominfo telah memiliki sistem moderasi konten bernama SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten). Sistem ini mewajibkan platform untuk segera menindak konten negatif, terutama pornografi anak, dalam jangka waktu antara 4 hingga 24 jam.

Saat ini, Kominfo tengah mengevaluasi kepatuhan platform terhadap sistem SAMAN dan PP Tunas. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa platform benar-benar mematuhi aturan yang berlaku. PP Tunas sendiri memberikan waktu maksimal dua tahun bagi platform untuk melakukan penyesuaian. Penyesuaian ini mencakup penerapan teknologi verifikasi usia pengguna dan pemisahan akses konten berdasarkan kelompok usia.

"Dalam undang-undang, tertulis maksimal dua tahun. Namun, kami bisa mempercepat prosesnya jika platform sudah siap dan menghormati aturan di Indonesia," kata Meutya.

Sebelumnya, Meutya mengungkapkan bahwa beberapa platform media sosial besar, seperti Facebook dan WhatsApp, belum sepenuhnya patuh dalam menurunkan konten negatif, meskipun hal ini telah diatur dalam PP Tunas.

"Seringkali terjadi platform tidak patuh. Jika ada yang bertanya mengapa iklan judi online masih ada di Facebook, seharusnya platform memahami bahwa kami telah mengatur kebijakan untuk take down. Karena mereka adalah wadah dari konten-konten tersebut," tegas Meutya.

Meutya mengakui bahwa tidak semua platform berperilaku buruk. Ia mengajak masyarakat untuk lebih kritis dan vokal terhadap platform yang mengabaikan perlindungan anak atau membiarkan konten negatif beredar luas.

"Jika membeli baju dengan kualitas buruk, pasti akan komplain. Masyarakat juga harus bersikap sama terhadap platform. Jangan hanya mengandalkan pemerintah," pungkasnya.