Oknum Juru Taksir Pegadaian Brebes Diduga Gelapkan Ratusan Juta Rupiah untuk Investasi Kripto
Kejaksaan Negeri Brebes menahan seorang juru taksir dari sebuah perusahaan pembiayaan milik negara berinisial HS (40) atas dugaan tindak pidana korupsi. HS diduga melakukan penggelapan dana senilai Rp 754 juta yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk investasi cryptocurrency.
Kepala Kejaksaan Negeri Brebes, Yadi Rachmat Sunaryadi, menjelaskan bahwa modus operandi yang dilakukan tersangka berlangsung selama tiga bulan, dari Juli hingga September 2024. HS, yang bertugas sebagai juru taksir di Pegadaian, diduga melakukan serangkaian tindakan yang merugikan keuangan negara. Modus yang digunakan meliputi:
- Kredit Fiktif: Membuat pengajuan kredit fiktif tanpa adanya barang jaminan yang sesuai.
- Penyimpangan Barang Jaminan: Melakukan penyimpangan terhadap barang jaminan dalam produk Kredit Cepat Aman (KCA) Aktif.
- Penyimpangan dalam Proses Lelang: Melakukan penyimpangan dalam proses lelang Barang Jaminan yang Dibatalkan dalam Proses Lelang (BJDPL).
- Taksiran Tinggi: Memberikan taksiran harga yang lebih tinggi dari nilai sebenarnya pada produk gadai KCA.
"Uang hasil penggelapan tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi tersangka, salah satunya adalah untuk trading cryptocurrency Bitcoin," ujar Yadi.
Saat ini, pihak kejaksaan tengah melakukan penelusuran lebih lanjut terhadap pengakuan tersangka dan berupaya melacak aset-aset yang mungkin dimiliki tersangka untuk memulihkan kerugian keuangan negara. Berdasarkan hasil audit, kerugian negara akibat perbuatan tersangka mencapai Rp 754.631.281.
Kejaksaan Negeri Brebes memastikan bahwa dalam kasus ini, tidak ada nasabah Pegadaian yang dirugikan secara langsung. Kredit fiktif yang diajukan tersangka tidak melibatkan barang jaminan milik nasabah. Pihak kejaksaan juga masih melakukan pengembangan kasus untuk mencari kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain.
Tersangka HS kini ditahan di Lapas Kelas II B dan diancam dengan hukuman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.