Sengketa Empat Pulau: Pemerintah Jadikan Perjanjian Helsinki Sebagai Referensi Utama

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyatakan bahwa pemerintah akan menjadikan Perjanjian Helsinki sebagai salah satu referensi utama dalam menyelesaikan polemik terkait status kepemilikan empat pulau di sekitar Aceh. Pernyataan ini merespons desakan dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), yang menyoroti pentingnya perjanjian tersebut dalam menentukan batas wilayah yang sah.

Bima Arya menegaskan bahwa selain Perjanjian Helsinki, pemerintah juga akan merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Kedua dokumen ini dianggap krusial dalam memahami konteks historis dan legal terkait klaim kepemilikan pulau-pulau tersebut. “Kami sangat memperhatikan apa yang disampaikan Pak Jusuf Kalla, dan ini penting untuk menjadi rujukan karena mengacu kepada dokumen Helsinki dan Undang-Undang 1956,” ujar Bima Arya di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat.

Kendati demikian, Wamendagri menekankan bahwa pemerintah tidak hanya akan terpaku pada kedua dokumen tersebut. Pendalaman dan kajian terhadap dokumen-dokumen lain yang relevan juga akan dilakukan secara komprehensif untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam. “Perlu kita dalami dan kita pelajari masing-masing substansi, ke arah mana petunjuk untuk kepemilikan yang lebih permanen,” jelasnya.

Bima Arya belum dapat memberikan kepastian mengenai kapan keputusan final terkait status keempat pulau tersebut akan diumumkan. Namun, ia meyakinkan publik bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap isu ini dan akan berupaya mengambil keputusan secepat mungkin. “Presiden sangat memberikan atensi, dan akan mengambil keputusan dalam jangka waktu yang tidak lama,” katanya.

Sebelumnya, Jusuf Kalla secara terbuka menyampaikan pandangannya mengenai polemik ini. Ia menegaskan bahwa secara historis, keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh. JK merujuk pada MoU Helsinki, sebuah kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini, menurut JK, mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur tentang pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

"Mengenai perbatasan itu, ada di Pasal 114 yang berbunyi 'Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ," kata JK kepada wartawan di kediamannya di kawasan Brawijaya, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, JK menjelaskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek secara historis memang masuk ke wilayah Aceh Singkil. Ia juga menanggapi fakta geografis bahwa pulau-pulau tersebut berdekatan dengan Sumatera Utara. Menurutnya, hal ini tidak mengubah fakta historis kepemilikan wilayah.

"Itu secara historis, sudah dibahas di Kompas, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil. Bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa," pungkas JK. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat segera menyelesaikan sengketa ini dengan mempertimbangkan seluruh aspek historis, legal, dan geografis yang relevan, serta mengedepankan kepentingan seluruh pihak yang terlibat.