Guru Besar UGM Kupas Tuntas Fenomena 'Masuk Angin' dalam Budaya Jawa: Kajian Antropologi Kesehatan

Atik Triratnawati Dikukuhkan Sebagai Guru Besar dengan Kajian Mendalam 'Masuk Angin'

Universitas Gadjah Mada (UGM) baru saja mengukuhkan Atik Triratnawati, seorang dosen Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya, sebagai Guru Besar Antropologi Kesehatan. Pengukuhan yang berlangsung pada 10 Juni 2025, di Balai Senat UGM ini, menjadi momentum penting untuk mengapresiasi karya ilmiah Atik yang fokus pada fenomena budaya unik, yaitu "masuk angin".

Dalam pidato pengukuhannya, Atik Triratnawati membahas fenomena "masuk angin" dari perspektif antropologi kesehatan. Ia menjelaskan bahwa "masuk angin" bukan sekadar keluhan fisik, melainkan sebuah konstruksi budaya yang mencerminkan cara masyarakat Jawa memahami dan mengatasi masalah kesehatan. Istilah ini, menurut Atik, merujuk pada serangkaian perilaku dan praktik penyembuhan tradisional yang diyakini efektif untuk mengatasi kondisi tidak nyaman pada tubuh.

Atik Triratnawati menjelaskan bahwa "masuk angin" lebih dari sekadar istilah. Ia melihatnya sebagai sebuah artefak budaya yang mewujud dalam berbagai peralatan dan ramuan penyembuhan. Mulai dari koin kuno yang digunakan untuk kerokan, hingga balsam, minyak gosok, dan beragam rempah-rempah yang diramu menjadi minuman atau dikemas dalam saset, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual "masuk angin".

"Istilah lokal 'masuk angin' berasal dari bahasa Jawa, yaitu 'mangsroek,' yang secara harfiah berarti 'masuk' dan 'angin,'" ungkap Atik.

Lebih lanjut, Atik menegaskan bahwa konsep "masuk angin" bukanlah fenomena yang eksklusif bagi masyarakat Jawa. Ia menemukan bahwa keyakinan serupa juga terdapat pada berbagai etnis lain di Indonesia, seperti suku Sunda, Melayu, dan Anak Dalam. Hal ini menunjukkan bahwa "masuk angin" merupakan bagian dari khazanah pengetahuan tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun, Atik juga menyoroti perbedaan pandangan antara konsep "masuk angin" dalam budaya Jawa dan dalam dunia medis modern. Dalam dunia kedokteran, tidak ada diagnosis penyakit yang disebut "masuk angin". Para dokter umumnya menganggap "masuk angin" sebagai gejala dari penyakit lain, seperti flu atau infeksi virus.

"Flu sering disamakan dengan masuk angin. Padahal dalam pemahaman orang Jawa, masuk angin sama sekali berbeda dengan flu. Dalam masuk angin, tidak ditemukan gejala bersin-bersin, sementara dalam bidang medis, flu identik dengan bersin-bersin," jelasnya.

Perbedaan mendasar ini terletak pada pemahaman tentang penyebab dan gejala. Bagi masyarakat Jawa, "masuk angin" bukanlah penyakit spesifik dengan gejala seperti flu atau batuk. Ia lebih merupakan kondisi ketidakseimbangan dalam tubuh yang memicu rasa tidak nyaman. Kondisi ini seringkali dikaitkan dengan kelelahan, kurang tidur, atau paparan cuaca buruk.

Atik juga menjelaskan bahwa dalam budaya Jawa, "masuk angin" memiliki legitimasi sosial yang kuat. Seseorang yang mengaku "masuk angin" tidak perlu surat dokter untuk mendapatkan pemakluman dari lingkungan sekitarnya. Cukup dengan menyebutkan "masuk angin", orang lain akan memahami dan memberikan izin untuk beristirahat atau tidak mengikuti kegiatan sosial.

Kategorisasi "Masuk Angin" dalam Masyarakat Jawa

Dalam masyarakat Jawa, "masuk angin" tidak hanya dipandang sebagai satu kondisi tunggal. Ia dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat keparahan dan penanganannya:

  • Masuk Angin Biasa: Kategori ini dianggap ringan, di mana penderitanya masih mampu beraktivitas meskipun dengan kondisi yang kurang prima. Gejala yang muncul biasanya meliputi kembung, rasa panas atau dingin, dan pegal-pegal. Penanganan yang umum dilakukan adalah dengan kerokan atau minum ramuan herbal.
  • Masuk Angin Berat: Kondisi ini terjadi ketika gejala "masuk angin" tidak terlalu dirasakan pada awalnya, seringkali disebabkan oleh kerja keras dan kurangnya perhatian terhadap pola makan dan istirahat. Penderita "masuk angin" berat biasanya membutuhkan kerokan berulang kali dan seringkali mengombinasikannya dengan pengobatan tradisional lainnya, seperti jamu.
  • Masuk Angin Kasep: Ini adalah kondisi "masuk angin" yang dibiarkan atau terlambat diatasi. Gejala awal mungkin tidak dirasakan atau diabaikan, sehingga kondisi tubuh semakin memburuk dan dapat berakibat fatal.

"Gejala yang tidak teratasi di masyarakat awam dapat menyebabkan kematian," tegas Atik.

Kerokan: Ritual Penyembuhan yang Melegenda

Kerokan merupakan metode pengobatan yang paling populer dan mudah dijumpai dalam masyarakat Jawa. Atik menjelaskan bahwa kerokan adalah praktik turun-temurun yang melibatkan penggosokan kulit dengan koin atau alat serupa yang diolesi minyak gosok. Tujuannya adalah untuk merangsang peredaran darah dan memberikan rasa hangat pada tubuh.

"Kerokan dilakukan dari punggung bagian atas ke bawah sampai pinggang, dengan posisi koin miring 45 derajat," jelas Atik.

Namun, Atik juga mencatat adanya perubahan persepsi terhadap "masuk angin" dan kerokan di kalangan generasi muda. Generasi milenial dan Gen Z cenderung menganggap istilah "masuk angin" sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan. Mereka lebih memilih pengobatan modern seperti istirahat, obat pereda nyeri, dan suplemen vitamin daripada kerokan.

"Mereka lebih memilih pengobatan istirahat tidur, minum obat pereda panas, vitamin, mineral daripada kerokan," ungkapnya.

Penelitian Atik Triratnawati memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana budaya dan keyakinan tradisional memengaruhi cara masyarakat memahami dan mengatasi masalah kesehatan. Kajiannya tentang "masuk angin" tidak hanya relevan bagi akademisi antropologi, tetapi juga bagi para praktisi kesehatan dan pembuat kebijakan yang tertarik untuk memahami perspektif masyarakat dalam perawatan kesehatan.