Opsi Rumah Subsidi dengan Luas 18 Meter Persegi: Angsuran Potensial Mulai Rp 600 Ribu

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mengkaji ulang standar minimal luas bangunan untuk rumah subsidi, dengan opsi menurunkan menjadi 18 meter persegi. Inisiatif ini diharapkan dapat meringankan beban cicilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dengan potensi angsuran mulai dari Rp 600 ribu per bulan.

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Sri Haryati, menyatakan bahwa penyesuaian luas bangunan ini merupakan respons terhadap kebutuhan hunian yang semakin mendesak, khususnya di wilayah perkotaan. Dengan luas yang lebih kecil, harga rumah subsidi diharapkan dapat ditekan, sehingga cicilan bulanan pun menjadi lebih terjangkau.

"Kami sedang melakukan simulasi dan perhitungan yang cermat bersama pengembang dan perbankan," ujar Sri Haryati. "Tujuannya adalah untuk mendapatkan skema cicilan yang lebih rendah dari FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang berlaku saat ini."

Perubahan Aturan dan Fokus Perkotaan

Usulan perubahan luas minimal rumah subsidi ini tertuang dalam draf Keputusan Menteri PUPR Nomor/KPTS/M/2025. Selain luas bangunan, luas tanah minimal juga akan disesuaikan menjadi 25 meter persegi. Namun, Sri Haryati menekankan bahwa aturan ini belum final dan masih dalam tahap pembahasan intensif dengan berbagai pihak.

"Aturan yang berlaku saat ini masih Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023," tegasnya. "Jika usulan ini disetujui, akan menjadi opsi tambahan bagi masyarakat, bukan pengganti aturan yang sudah ada."

Rumah subsidi dengan luas 18 meter persegi ini rencananya akan difokuskan di wilayah perkotaan, di mana kebutuhan akan hunian terjangkau sangat tinggi. Untuk wilayah perdesaan, aturan mengenai luas bangunan dan tanah rumah subsidi akan tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku saat ini.

Respon Terhadap Kritik dan Masukan

Rencana ini menuai beragam reaksi di media sosial, dengan beberapa pihak mengkritik ukuran rumah yang terlalu kecil dan kurangnya ruang untuk aktivitas ibadah. Kementerian PUPR terbuka terhadap kritik dan masukan yang konstruktif.

"Kami sangat menghargai masukan dari masyarakat," kata Sri Haryati. "Kritik tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan aturan ini. Contohnya, ada masukan tentang ruang untuk salat. Ini akan kami evaluasi dan sesuaikan."

Catatan dari Kadin Indonesia

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memberikan sejumlah catatan terkait rencana perubahan luas minimal rumah subsidi ini. Salah satunya adalah pentingnya sosialisasi yang efektif kepada masyarakat.

Wakil Ketua Umum Pengembangan Infrastruktur Strategis dan Pembangunan Pedesaan Serta Transmigrasi Kadin, Thomas Jusman, menekankan perlunya sosialisasi yang menyeluruh agar masyarakat tidak salah paham mengenai usulan ini.

"Ini adalah opsi tambahan, bukan pembatasan terhadap produk rumah subsidi yang sudah ada," ujarnya. "Selain itu, perlu dipikirkan cara agar pekerja informal juga dapat mengakses rumah subsidi, meskipun terkendala SLIK OJK."

Kadin juga merekomendasikan agar luas rumah subsidi tetap memperhatikan Standar Nasional Indonesia (SNI), dengan mempertimbangkan rentang 18-30 meter persegi untuk memberikan ruang gerak yang memadai bagi penghuni.

Berikut poin penting yang menjadi catatan:

  • Sosialisasi yang efektif
  • Akses untuk pekerja informal
  • Luas yang sesuai dengan SNI

Kementerian PUPR akan terus melakukan pembahasan dan evaluasi terhadap usulan ini, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, demi mewujudkan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.