Masuk Angin: Lebih dari Sekadar Penyakit, Warisan Budaya yang Mengakar di Masyarakat

Fenomena Masuk Angin: Kajian Antropologi Kesehatan UGM Mengungkap Dimensi Budaya

Universitas Gadjah Mada (UGM) mengupas tuntas fenomena "masuk angin" dari sudut pandang antropologi kesehatan. Prof. Dr. Atik Triratnawati, seorang Guru Besar Antropologi Kesehatan UGM, dalam pidato pengukuhannya menyampaikan bahwa "masuk angin" bukan sekadar gangguan kesehatan, melainkan juga warisan budaya yang telah mengakar kuat di masyarakat Indonesia.

Prof. Atik menjelaskan bahwa "masuk angin" berada di persimpangan antara dunia medis dan budaya. Gejala-gejala yang muncul, seperti kembung, pegal-pegal, dan rasa tidak enak badan, seringkali dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan dapat disembuhkan dengan cara-cara tradisional, salah satunya adalah kerokan. Padahal, dalam ranah budaya, "masuk angin" terkadang dikaitkan dengan hal-hal magis atau bahkan sihir.

Tiga Klasifikasi Masuk Angin: Ringan, Berat, dan Kasep

Dalam pidatonya, Prof. Atik membagi "masuk angin" menjadi tiga kategori:

  • Masuk Angin Ringan: Gejala yang paling umum, meliputi kembung, pegal-pegal, dan rasa tidak nyaman di tubuh.
  • Masuk Angin Berat: Gejala masuk angin ringan disertai dengan gejala lain seperti mual, muntah, dan diare.
  • Masuk Angin Kasep: Kategori yang paling berbahaya, di mana penderita tidak merasakan gejala apapun, namun tiba-tiba mengalami syok akibat sesak napas. Kondisi ini seringkali disalahartikan sebagai serangan jantung.

Penanganan Masuk Angin: Dari Tradisional hingga Medis Modern

Penanganan "masuk angin" bervariasi, tergantung pada tingkat keparahannya. Untuk "masuk angin" ringan, Prof. Atik menyarankan beberapa cara sederhana seperti:

  • Minum minuman hangat (kopi, teh, jahe).
  • Beristirahat yang cukup.
  • Pijat.

Kerokan, meskipun populer, sebenarnya menimbulkan rasa nyeri. Pijat lebih disarankan karena dapat meredakan ketegangan otot dan menurunkan suhu tubuh.

Namun, untuk "masuk angin kasep", penanganan medis modern sangat diperlukan. Prof. Atik menekankan bahwa keterlambatan penanganan dapat berakibat fatal.

"Jika mengalami sesak napas secara tiba-tiba, segera bawa ke rumah sakit. Pertolongan pertama pada serangan jantung di IGD sangat krusial. 15 menit pertama menentukan keberhasilan penanganan," ujarnya.

Prof. Atik berharap penelitiannya ini dapat membuka wawasan baru tentang bagaimana masyarakat memandang tubuh, alam, dan keseimbangan. "Masuk angin", yang seringkali dianggap sepele, ternyata menyimpan makna budaya yang mendalam dan relevan dengan praktik kesehatan masyarakat.