Eskalasi Konflik: Ambisi Israel Gulingkan Rezim Iran dan Risiko Pertaruhan Netanyahu
markdown Israel meningkatkan tensi konflik dengan Iran melalui serangkaian serangan yang diklaim bertujuan untuk menghancurkan program nuklir negara tersebut. Namun, ambisi yang lebih besar terungkap: menggulingkan rezim yang berkuasa di Teheran. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka menyerukan rakyat Iran untuk bersatu melawan pemerintahan yang dianggapnya "jahat dan menindas." Serangan-serangan yang dilancarkan menyasar sejumlah tokoh penting militer dan intelijen Iran, termasuk komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC). Aksi ini jelas merupakan eskalasi signifikan dari konflik yang telah berlangsung lama.
Netanyahu tampaknya berharap bahwa serangan-serangan ini akan memicu reaksi berantai di dalam Iran, memicu kerusuhan dan ketidakstabilan yang berujung pada penggulingan rezim. Sentimen ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi, pembatasan kebebasan berpendapat, serta isu hak-hak perempuan dan minoritas, menjadi lahan subur yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Namun, harapan ini adalah sebuah pertaruhan besar. Belum ada indikasi jelas bahwa serangan Israel akan memicu pemberontakan massal. Justru, elit penguasa di Iran, yang didominasi oleh IRGC dan lembaga-lembaga terkait, memiliki kontrol yang kuat atas angkatan bersenjata dan perekonomian.
Iran sendiri merespons serangan Israel dengan meluncurkan serangan balasan ke "puluhan target, pusat militer, dan pangkalan udara" di wilayah Israel. Situasi ini meningkatkan risiko eskalasi lebih lanjut dan membuka berbagai skenario yang sulit diprediksi. Salah satu risiko adalah runtuhnya rezim yang berkuasa, yang dapat memicu kekacauan dan instabilitas regional. Iran, dengan populasi sekitar 90 juta jiwa, memiliki potensi untuk menciptakan dampak besar di Timur Tengah jika terjadi kerusuhan skala besar.
Israel mungkin berharap bahwa kerusuhan akan membuka jalan bagi pengambilalihan kekuasaan oleh kelompok oposisi yang tidak bermusuhan dengan Tel Aviv. Namun, oposisi Iran saat ini terpecah belah dan tidak memiliki pemimpin yang jelas. Beberapa tokoh oposisi yang potensial termasuk Reza Pahlavi, putra mahkota Iran yang diasingkan, dan kelompok Mujahideen-e Khalq (MEK). Pahlavi memiliki dukungan dari sebagian masyarakat Iran dan aktif melobi kekuatan asing untuk mendukung tujuannya. Sementara itu, MEK, yang pernah bersekutu dengan Saddam Hussein, memiliki citra yang buruk di mata banyak warga Iran.
Di tengah ketidakpastian ini, Iran dihadapkan pada pilihan sulit. Melanjutkan negosiasi dengan Amerika Serikat mungkin dianggap sebagai solusi yang aman, tetapi dapat dianggap sebagai pengakuan kekalahan oleh para pemimpin Iran. Pilihan lain adalah terus menyerang Israel, yang berpotensi memicu serangan balasan yang lebih besar. Teheran juga memiliki opsi untuk menargetkan kepentingan AS di wilayah tersebut, tetapi risiko eskalasi yang tidak terkendali sangat tinggi. Situasi yang kompleks dan tidak dapat diprediksi ini membuat kedua belah pihak berada dalam posisi yang sulit. Masa depan hubungan Israel-Iran, dan stabilitas Timur Tengah, bergantung pada langkah-langkah yang akan diambil dalam beberapa hari dan minggu mendatang.
Beberapa pertanyaan kunci yang belum terjawab:
- Seberapa besar pengaruh serangan Israel terhadap stabilitas rezim Iran?
- Apakah serangan tersebut akan memicu pemberontakan massal?
- Siapa yang akan mengambil alih kekuasaan jika rezim Iran runtuh?
- Bagaimana Iran akan merespons serangan Israel?
- Apakah konflik ini akan meningkat menjadi perang regional?
Debu dan asap masih membubung, dan konsekuensi dari tindakan ini masih belum jelas.