Investor Global Lirik Pasar Obligasi Indonesia di Tengah Kewaspadaan terhadap Ekonomi AS
Pasar keuangan global menunjukkan dinamika baru seiring dengan meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Momentum ini membuka peluang lebar bagi pasar negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia, khususnya pada instrumen obligasi.
Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menuturkan bahwa sentimen pasar global mengalami perbaikan dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini dipicu oleh perkembangan positif dalam negosiasi perdagangan yang meredakan kekhawatiran terhadap resesi global. Meskipun pasar tetap waspada, adanya perundingan dagang yang lebih konkret antara AS dan Tiongkok, kesepakatan AS-Inggris, serta perpanjangan negosiasi antara AS dan Uni Eropa memberikan sentimen positif.
Namun, tren "Sell America" atau pengalihan portofolio dari aset-aset AS ke kawasan lain semakin menguat. Faktor-faktor pendorongnya meliputi melemahnya pertumbuhan ekonomi AS, kebijakan perdagangan yang tidak terduga dari Presiden AS, serta kekhawatiran terhadap utang dan defisit fiskal AS yang membengkak. Penurunan peringkat kredit oleh lembaga pemeringkat Moody’s semakin memperburuk citra investasi AS. Laras melihat bahwa pergeseran arus dana global ini memberikan potensi besar bagi Asia.
Asia menawarkan kombinasi menarik antara emiten domestik berbasis konsumsi dan emiten yang terintegrasi dalam rantai pasok teknologi global, termasuk sektor perangkat keras teknologi, energi terbarukan, otomotif listrik, jasa IT, automasi robotik, kecerdasan buatan (AI), hingga farmasi.
Indonesia masih menghadapi tantangan dalam memacu pertumbuhan ekonomi setelah mengalami perlambatan pada kuartal I 2025. Konsumsi rumah tangga yang masih lemah pasca-pandemi, ditambah dengan kontraksi belanja pemerintah akibat realokasi anggaran, menjadi faktor utama. Diharapkan pada kuartal kedua, setelah realokasi APBN selesai, belanja pemerintah dapat lebih akseleratif. Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), stabilitas nilai tukar Rupiah, dan stimulus lanjutan diharapkan dapat mendorong perbaikan konsumsi pada semester kedua.
Terkait nilai tukar Rupiah, Laras memperkirakan akan stabil di kisaran Rp 16.200–16.900 terhadap dolar AS hingga akhir 2025. Tekanan terhadap Rupiah mulai berkurang seiring dengan selesainya periode pembayaran dividen dan kebutuhan dolar AS untuk musim haji. Bank Indonesia memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga di tengah inflasi yang terkendali, dengan proyeksi BI rate mencapai 5,25 persen pada akhir tahun.
Selain penurunan BI rate, likuiditas pasar diperkirakan akan membaik setelah BI menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 basis poin. Langkah ini dapat memberikan tambahan likuiditas sekitar Rp 90 triliun. Jatuh tempo Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada kuartal III sebesar Rp 273 triliun dan kuartal IV senilai Rp 224 triliun juga berpotensi menambah likuiditas pasar.
Kondisi ini menciptakan peluang investasi yang menarik di pasar obligasi, terutama pada obligasi tenor pendek. Obligasi berdurasi pendek masih menarik di tengah potensi penurunan Fed Funds Rate dan BI rate hingga akhir tahun. Penurunan suku bunga acuan ini membuka peluang capital gain pada instrumen tersebut.
Beberapa risiko yang perlu diwaspadai antara lain potensi lonjakan imbal hasil US Treasury akibat penurunan peringkat kredit AS, serta efektivitas stimulus pemerintah dalam mendorong konsumsi domestik. Katalis positifnya adalah terjaganya pasokan obligasi Rupiah serta proyeksi kenaikan penerbitan obligasi global, baik dalam dolar AS maupun mata uang lainnya.
Dalam mengelola portofolio reksa dana obligasi MAMI, Laras menekankan pendekatan aktif dengan menjaga keseimbangan antara strategi defensif dan agresif, mengatur durasi secara optimal, memilih efek dengan valuasi yang menarik, serta menjaga diversifikasi untuk memitigasi risiko.