LPSK Dorong RKUHAP: Terpidana Pengemplang Restitusi Terancam Kehilangan Hak Sebagai Warga Binaan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengusulkan perubahan signifikan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terkait mekanisme restitusi bagi korban tindak pidana. Usulan utama yang diajukan adalah pencabutan hak-hak tertentu sebagai warga binaan bagi terpidana yang tidak mampu atau tidak bersedia membayar restitusi yang telah ditetapkan pengadilan.
Ketua LPSK, Brigjen Pol (Purn) Achmadi, menyampaikan usulan ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI. Menurutnya, revisi KUHAP harus memperjelas konsekuensi bagi terpidana yang gagal memenuhi kewajiban restitusi. Achmadi menyoroti perlunya perubahan pada Pasal 175 ayat 7 RUU KUHAP. Ia mengusulkan dua opsi sanksi bagi terpidana yang tidak mampu membayar restitusi:
- Pertama, pidana penjara pengganti yang tidak melebihi pidana pokok yang dijatuhkan.
- Kedua, pencabutan hak-hak tertentu sebagai warga binaan.
Achmadi berpendapat bahwa penegakan eksekusi putusan restitusi memerlukan substansi yang dapat memotivasi pelaku untuk membayar ganti rugi. Pidana pengganti dan pencabutan hak sebagai warga binaan diharapkan menjadi insentif bagi terpidana untuk memenuhi kewajibannya.
Selain itu, LPSK juga mengusulkan penambahan komponen ganti kerugian pada Pasal 172 ayat 2 RKUHAP. Achmadi mengusulkan penambahan huruf (d) yang mencakup ganti kerugian lain yang diderita korban akibat tindak pidana, yang tidak secara langsung berkaitan dengan penderitaan akibat tindak pidana itu sendiri.
"Tidak semua komponen ganti kerugian dapat dilihat dari sudut pandang penderitaan yang berkaitan langsung dengan tindak pidana yang dialami oleh korban. Namun terdapat komponen lainnya yang juga sering ditemukan menjadi kebutuhan penggantian yang harus dibayarkan oleh pelaku, namun tidak berkaitan langsung dengan peristiwa yang dialami," jelasnya.
Ia mencontohkan biaya transportasi, biaya pengacara, atau biaya lain yang terkait dengan proses hukum yang harus dijalani korban sebagai contoh kerugian yang perlu dipertimbangkan dalam restitusi.
Lebih lanjut, LPSK juga mendorong penambahan ayat pada Pasal 173 RKUHAP yang mengatur tentang pengajuan restitusi oleh korban. LPSK mengusulkan agar restitusi dapat diajukan oleh korban, keluarga korban, atau ahli warisnya kepada pengadilan.
"Kejelasan hukum acara restitusi akan dapat memberikan kejelasan bagi korban, untuk memperoleh hak restitusinya, serta menjadi panduan bagi aparat penegak hukum dalam memberikan informasi kepada korban terkait mekanisme restitusi, yang diawali permohonan sehingga KUHAP mendatang juga perlu mencantumkan subjek yang dapat mengajukan permohonan," imbuhnya.
Dengan adanya kejelasan hukum acara restitusi, LPSK berharap korban tindak pidana dapat memperoleh haknya secara lebih efektif. Selain itu, aparat penegak hukum juga akan memiliki panduan yang jelas dalam memberikan informasi kepada korban mengenai mekanisme restitusi.