LPSK Dorong Penghapusan Hak Narapidana yang Gagal Bayar Restitusi
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Brigjen Pol (Purn) Achmadi, mengemukakan sebuah usulan signifikan terkait hak-hak warga binaan pemasyarakatan (narapidana). Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Achmadi mengusulkan agar narapidana yang tidak mampu atau lalai dalam membayar restitusi kepada korban kejahatan tidak diberikan hak-hak istimewa sebagai warga binaan.
Achmadi menekankan pentingnya pengaturan mekanisme restitusi yang tegas dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana benar-benar bertanggung jawab atas kerugian yang dialami korban. Menurutnya, RUU KUHAP harus memuat klausul yang memberikan konsekuensi yang jelas bagi terpidana yang tidak memenuhi kewajiban restitusi.
"Usulan pasal 175 mekanisme pemberian restitusi, ayat 7 diubah sebagai berikut, huruf (a) jika harta kekayaan terpidana yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak mencukupi biaya restitusi, terpidana dikenai pidana penjara pengganti tidak melebihi pidana pokoknya, dan/atau huruf (b) tidak berhak mendapatkan haknya sebagai warga binaan," ujar Achmadi, saat menyampaikan usulannya.
Ia menyoroti bahwa Pasal 81 hingga 83 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya telah meletakkan dasar hukum bagi pelaksanaan restitusi. Namun, dalam praktiknya, implementasi putusan restitusi seringkali menemui kendala karena tidak adanya mekanisme yang jelas dalam hukum acara. Oleh karena itu, LPSK mendorong agar RUU KUHAP memuat substansi yang dapat mendorong pelaku untuk membayar restitusi, termasuk melalui pidana pengganti dan pencabutan hak-hak tertentu selama menjadi warga binaan.
Selain itu, LPSK juga mengusulkan penambahan komponen ganti kerugian dalam Pasal 172 Ayat 2 RUU KUHAP, yaitu huruf (d), yang mencakup ganti kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat dari proses hukum. Contohnya, penggantian biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang terkait dengan proses hukum.
LPSK juga mendorong agar Pasal 173 RUU KUHAP dilengkapi dengan ketentuan mengenai pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan restitusi ke pengadilan. Achmadi mengusulkan agar korban, keluarga korban, atau ahli warisnya diberi kewenangan untuk mengajukan restitusi secara langsung. Menurutnya, kejelasan hukum acara dalam permohonan restitusi sangat penting agar korban tidak kembali dirugikan dalam proses hukum.
Berikut poin-poin usulan LPSK dalam RDPU:
- Perubahan Pasal 175 RUU KUHAP: Jika harta terpidana tidak mencukupi untuk restitusi, terpidana dapat dikenai pidana penjara pengganti atau kehilangan hak sebagai warga binaan.
- Penambahan Komponen Ganti Kerugian (Pasal 172 Ayat 2 RUU KUHAP): Mencakup biaya transportasi dasar, biaya pengacara, dan biaya lain yang terkait proses hukum.
- Pengaturan Permohonan Restitusi (Pasal 173 RUU KUHAP): Korban, keluarga, atau ahli waris berhak mengajukan restitusi langsung ke pengadilan.
"Kejelasan hukum acara restitusi akan dapat memberikan kejelasan bagi korban untuk memperoleh hak restitusinya, serta menjadi panduan bagi aparat penegak hukum dalam memberikan informasi kepada korban terkait mekanisme restitusi, yang diawali permohonan, sehingga KUHAP mendatang juga perlu mencantumkan subyek yang dapat mengajukan permohonan," tegas Achmadi.
Upaya untuk memperkuat hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana terus menjadi perhatian utama dalam pembahasan RUU KUHAP. LPSK menegaskan komitmennya untuk terus mengawal agar perlindungan terhadap korban dan saksi tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga memiliki landasan hukum yang kuat.