Peradi Menolak Penyadapan Masuk dalam RUU KUHAP: Potensi Penyalahgunaan Kewenangan Mengkhawatirkan
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) secara tegas menyampaikan keberatannya terhadap rencana memasukkan ketentuan penyadapan ke dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Kekhawatiran utama yang mendasari penolakan ini adalah potensi penyalahgunaan kewenangan yang dapat terjadi jika penyadapan diatur dalam KUHAP.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, menyampaikan argumen bahwa penyadapan, sebagai bagian dari upaya paksa, sangat rentan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum jika tidak ada pengawasan yang ketat dan mekanisme kontrol yang jelas. Peradi mengusulkan agar ketentuan mengenai penyadapan dihilangkan dari RUU KUHAP.
Saat ini, pengaturan mengenai penyadapan sudah terdapat dalam undang-undang sektoral tertentu yang mengatur tindak pidana khusus, seperti:
- Undang-Undang Narkotika
- Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
- Undang-Undang Kepolisian
Peradi berpendapat bahwa memasukkan kembali pengaturan penyadapan ke dalam KUHAP akan menciptakan duplikasi regulasi yang tidak perlu. Lebih lanjut, hal ini justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan kebingungan dalam penerapannya di lapangan. Sapriyanto menekankan pentingnya menjaga akuntabilitas dalam penegakan hukum dan melindungi hak asasi manusia selama proses penyidikan berlangsung. Peradi khawatir bahwa cakupan KUHAP yang bersifat umum dapat membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam melakukan penyadapan.
Ketentuan mengenai upaya paksa diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf f draf RUU KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan upaya paksa. Lebih detail, Pasal 84 draf yang sama menjabarkan bentuk-bentuk upaya paksa yang meliputi:
- Penetapan tersangka
- Penangkapan
- Penahanan
- Penggeledahan
- Penyitaan
- Penyadapan
- Pemeriksaan surat
- Larangan bagi tersangka untuk keluar wilayah Indonesia.
Draf RUU KUHAP juga merinci mekanisme pelaksanaan masing-masing bentuk upaya paksa tersebut. Penyidikan sendiri didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangkanya.
Pasal 6 Ayat (1) draf RUU KUHAP mengkategorikan penyidik menjadi:
- Penyidik Polri
- PPNS
- Penyidik Tertentu.
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) draf RUU KUHAP merinci PPNS meliputi PPNS Bea Cukai, Imigrasi, Tera, Perikanan, Lalu Lintas, dan Angkutan Jalan. Sementara itu, yang dimaksud dengan 'Penyidik Tertentu' adalah Penyidik Tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Penyidik Tertentu Kejaksaan, dan Penyidik Tertentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagaimana diatur dalam undang-undang terkait.
Usulan Peradi ini menjadi bagian dari serangkaian masukan yang disampaikan kepada DPR terkait draf RUU KUHAP. Komisi III DPR RI juga mendengarkan pandangan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam forum yang sama.