Dispensasi Pernikahan Anak: Antara Perlindungan Hukum dan Potensi Legalisasi Kekerasan Seksual
Pernikahan anak di Indonesia merupakan isu kompleks yang terus menghantui, meskipun telah ada upaya peningkatan batas usia minimal pernikahan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. UU tersebut menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah, baik bagi pria maupun wanita, adalah 19 tahun. Namun, celah hukum melalui dispensasi perkawinan di pengadilan memungkinkan praktik ini terus berlanjut. Dispensasi ini, yang seharusnya menjadi pengecualian, seringkali digunakan untuk melegitimasi pernikahan anak dengan alasan budaya, ekonomi, atau kehamilan di luar nikah.
Perubahan batas usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun merupakan langkah maju dalam hukum keluarga Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 menegaskan kesetaraan gender dan kewajiban negara untuk melindungi hak anak. Namun, pemberian dispensasi perkawinan yang terus meningkat menimbulkan paradoks. Alasan utama permohonan dispensasi adalah kehamilan di luar nikah, yang menunjukkan adanya masalah yang lebih dalam terkait dengan pendidikan seksualitas dan perlindungan anak.
Fenomena ini menimbulkan dilema hukum dan sosial, terutama terkait perlindungan anak dan perempuan. Dispensasi yang diberikan pengadilan seringkali mengabaikan relasi kuasa, kerentanan anak, dan potensi kekerasan seksual. Hal ini menjadi semakin problematik dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang secara tegas melindungi anak dari kekerasan seksual, eksploitasi, dan pemaksaan hubungan seksual.
UU TPKS menganggap hubungan seksual dengan anak di bawah 18 tahun sebagai kekerasan seksual, terutama jika terjadi dalam relasi yang tidak setara. Namun, dispensasi perkawinan berpotensi melegalkan hubungan seksual dengan anak melalui pernikahan, yang bertentangan dengan semangat UU TPKS. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 hadir sebagai upaya untuk memprioritaskan perlindungan anak dan membatasi penyalahgunaan kewenangan. Pertanyaannya adalah, seberapa efektifkah PERMA ini dalam mengurangi perkawinan anak? Apakah dispensasi masih relevan dengan perlindungan anak yang diamanatkan oleh UU TPKS dan regulasi lainnya?
Dispensasi perkawinan sering digunakan sebagai solusi "legal" untuk menutupi tindak pidana kekerasan seksual, terutama dalam kasus kehamilan remaja. Alih-alih melindungi anak sebagai korban, negara memberikan legitimasi hukum terhadap hubungan yang diduga sebagai hasil kekerasan seksual. Ini menciptakan anomali hukum, di mana pelaku terhindar dari proses pidana dan mendapatkan pengakuan sosial dan hukum melalui perkawinan.
Dispensasi perkawinan berpotensi menjadi celah untuk melegalkan kekerasan seksual terhadap anak. Ini menimbulkan masalah serius dalam sistem hukum nasional, terutama dalam harmonisasi antara UU Perkawinan, UU TPKS, dan UU Perlindungan Anak. Perlu dilakukan kajian mendalam untuk melihat bagaimana dispensasi perkawinan bertentangan dengan perlindungan anak dan pencegahan kekerasan seksual. Dispensasi perkawinan secara prinsipil bertentangan dengan UU TPKS, yang menekankan pencegahan segala bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak, termasuk melalui pernikahan yang menormalisasi relasi kuasa yang timpang.
Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
- Inkonsistensi hukum antara UU Perkawinan dan UU TPKS.
- Legalisasi kekerasan seksual melalui peradilan dan kurangnya perspektif perlindungan anak dalam putusan dispensasi.
- Minimnya evaluasi efektivitas dispensasi dalam menjamin kesejahteraan anak.
PERMA No. 5 Tahun 2019, yang diinisiasi oleh Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak MA-RI, bertujuan memberikan pedoman bagi hakim dalam memeriksa permohonan dispensasi kawin. Peraturan ini adalah langkah penting dalam pencegahan perkawinan anak, menetapkan prosedur yang ketat dan berfokus pada hak anak. Mahkamah Agung mendorong hakim untuk lebih selektif dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, mempertimbangkan aspek psikologis, kesehatan reproduksi, pendidikan, dan potensi risiko kekerasan dalam rumah tangga sebagai dasar penolakan atau pemberian dispensasi.
Hal ini menunjukkan pergeseran paradigma dari pendekatan administratif menjadi perlindungan anak berbasis hak asasi manusia. Perkara dispensasi kawin karena kehamilan di luar nikah bukan hanya fenomena hukum, tetapi juga alarm sosial atas kegagalan kolektif hukum, pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Tanpa upaya struktural untuk menyelaraskan aturan hukum dengan kondisi sosial dan budaya, regulasi perlindungan anak hanya akan menjadi teks tanpa daya paksa di tengah realitas yang kompleks. Walaupun ada tantangan dalam implementasinya, PERMA ini menjadi kerangka penting yang harus didukung oleh semua pihak terkait.