Penggunaan Bioavtur dari Minyak Jelantah: Tantangan Harga dan Ketersediaan bagi Industri Penerbangan
Pemanfaatan bahan bakar nabati (bioavtur) yang berasal dari minyak jelantah sebagai sumber energi alternatif bagi pesawat terbang menjadi perhatian serius di kalangan pengamat penerbangan. Inisiatif pemerintah untuk mendorong penggunaan bioavtur ini dinilai positif dari sudut pandang kelestarian lingkungan. Namun, muncul kekhawatiran terkait implikasi ekonominya, khususnya terkait harga dan ketersediaan pasokan.
Gatot Rahardjo, seorang pengamat penerbangan, menekankan bahwa meskipun bioavtur aman digunakan, harga yang relatif mahal dan produksi yang terbatas dapat menjadi kendala bagi maskapai penerbangan. Menurutnya, jika harga bioavtur tidak kompetitif dan pasokannya tidak mencukupi, maskapai akan enggan untuk beralih ke bahan bakar alternatif ini. Konsekuensi lebih lanjut, kata Gatot, berpotensi memicu kenaikan harga tiket pesawat, yang tentunya akan membebani konsumen.
Tantangan Harga dan Ketersediaan
Lebih lanjut Gatot menjelaskan, harga bioavtur yang lebih tinggi dibandingkan dengan avtur konvensional akan meningkatkan biaya operasional maskapai. Sementara itu, tarif batas atas tiket pesawat tidak mengalami penyesuaian. Kondisi ini dapat menyebabkan kerugian finansial bagi maskapai, bahkan berpotensi mengarah pada kebangkrutan jika penggunaan bioavtur dipaksakan tanpa solusi yang tepat. Gatot menekankan perlunya memastikan bahwa maskapai tidak mengalami kerugian saat menggunakan bioavtur. Hal ini dapat dicapai jika harga bioavtur setara dengan avtur biasa, produksinya berkelanjutan, dan distribusinya merata di seluruh Indonesia. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan tarif pesawat sesuai dengan harga bioavtur.
Tata Kelola Minyak Jelantah
Gatot menyoroti fakta bahwa Singapura telah memproduksi bioavtur dari minyak jelantah yang bahan bakunya sebagian besar berasal dari Indonesia. Produk tersebut kemudian diekspor ke Amerika Serikat. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada tata kelola minyak goreng, tetapi juga tata kelola minyak jelantah. Potensi produksi bioavtur dari minyak jelantah di Indonesia sangat besar. Namun, selama ini pengumpulan minyak jelantah belum dilakukan secara optimal, dan sebagian besar justru diekspor ke negara lain.
Target Pemerintah
Pemerintah menargetkan implementasi sustainable aviation fuel (SAF) atau bioavtur dengan campuran 5 persen pada tahun ini. Target ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun tentang Penetapan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Transportasi untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional. Inspektur Kelaikan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Sayuta Senobua, menjelaskan bahwa target ini sejalan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2015. Implementasi bioavtur untuk industri penerbangan di Indonesia sebenarnya telah ditargetkan sejak Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, campuran bioavtur ditargetkan mencapai 2 persen pada 2016, 3 persen pada 2020, dan 5 persen pada 2025.
Implikasi dan Rekomendasi
Penggunaan bioavtur merupakan langkah positif menuju industri penerbangan yang lebih berkelanjutan. Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada solusi atas tantangan harga dan ketersediaan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa produksi bioavtur mencukupi, harganya kompetitif, dan distribusinya merata di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, tata kelola minyak jelantah perlu ditingkatkan untuk memaksimalkan potensi produksi bioavtur dalam negeri. Dukungan finansial dan insentif bagi maskapai penerbangan juga dapat menjadi solusi untuk mendorong penggunaan bioavtur tanpa membebani konsumen dengan kenaikan harga tiket.