Peradi Soroti Draf RKUHAP: Usul Penghapusan Bukti Petunjuk dan Keterangan Ahli

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengkritisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI. Organisasi advokat tersebut mengusulkan penghapusan bukti petunjuk dan keterangan ahli sebagai bagian dari alat bukti yang sah di pengadilan.

Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Reva, menyampaikan bahwa Peradi merekomendasikan agar RKUHAP hanya mengakui empat jenis alat bukti. Usulan ini didasarkan pada evaluasi mendalam terhadap efektivitas dan potensi penyalahgunaan alat bukti yang ada saat ini.

Berikut adalah empat alat bukti yang diusulkan oleh Peradi untuk dipertahankan dalam RKUHAP:

  • Keterangan saksi
  • Bukti surat
  • Bukti elektronik (sebagai respons terhadap perkembangan teknologi digital)
  • Keterangan terdakwa

Reva menjelaskan bahwa bukti petunjuk dinilai memiliki potensi untuk disalahgunakan dan dapat mempengaruhi keyakinan hakim secara tidak proporsional. Menurutnya, penyidik seharusnya lebih fokus pada pencarian alat bukti yang lebih konkret dan tidak bergantung pada interpretasi subjektif dari bukti petunjuk. Ia menekankan bahwa mengandalkan bukti petunjuk sebagai satu-satunya dasar untuk menghukum seseorang dapat menimbulkan ketidakadilan, terutama jika alat bukti lain tidak secara jelas menunjuk pada pelaku.

"Bukti petunjuk ini sangat berbahaya karena bukti petunjuk ini adalah sebuah alat bukti yang akan digunakan dalam rangka menambah keyakinan hakim, ketika alat bukti yang lain tidak menunjukkan siapa pelakunya, maka bukti petunjuk berbahaya ini," jelas Reva.

Selain bukti petunjuk, Peradi juga menyoroti permasalahan terkait keterangan ahli. Reva mengungkapkan kekecewaannya terhadap praktik yang dianggap tidak adil dalam penerimaan keterangan ahli di pengadilan. Ia menuturkan bahwa keterangan ahli yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) cenderung lebih mudah diterima oleh hakim dibandingkan dengan keterangan ahli yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hakim tidak memiliki objektivitas dalam mempertimbangkan keterangan ahli.

"Ketika kita menangani suatu perkara pidana kalau ahli itu diajukan oleh penyidik, oleh penuntut umum, itu pasti diterima oleh hakim. Tapi ketika ahli diajukan oleh penasihat hukum, pasti tidak diterima," ungkapnya.

Oleh karena itu, Peradi mengusulkan agar keterangan ahli tidak lagi dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri, melainkan cukup diajukan dalam bentuk keterangan tertulis yang kemudian menjadi bagian dari bukti surat. Dengan demikian, diharapkan hakim dapat mempertimbangkan keterangan ahli secara lebih objektif dan tidak terikat pada kepentingan pihak tertentu.

"Karena itu, kalau kemudian dalam penanganan sebuah perkara pidana memerlukan ahli, cukup dia memberikan keterangan tertulis, yang akhirnya menjadi bukti surat, tidak perlu dihadirkan di persidangan," tuturnya.

Usulan Peradi ini bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Dengan membatasi jenis alat bukti yang sah dan memastikan perlakuan yang setara terhadap keterangan ahli, diharapkan dapat mengurangi potensi terjadinya kesalahan dalam proses hukum dan melindungi hak-hak terdakwa.