Tergiur Magang Bergaji Tinggi, Perempuan Afrika Terjebak Kerja Paksa di Pabrik Drone Rusia

Kisah pilu dialami sejumlah perempuan muda asal Afrika yang tergiur program magang Alabuga Start di Rusia. Alih-alih mendapatkan pelatihan dan pengalaman kerja yang menjanjikan, mereka justru terjebak dalam kondisi kerja paksa di sebuah pabrik perakitan drone. Program yang awalnya menawarkan prospek karier cerah dengan iming-iming gaji tinggi, berubah menjadi mimpi buruk bagi para peserta.

Beberapa perempuan yang berhasil diwawancarai mengungkapkan kekecewaan dan keputusasaan mereka. Chinara, seorang perempuan muda asal Nigeria, menggambarkan bagaimana dirinya dan rekan-rekannya diperlakukan sebagai pekerja kasar dengan upah minim. Awalnya, mereka dijanjikan posisi di bidang logistik, pelayanan, katering, atau sebagai operator derek. Namun, setibanya di Rusia, mereka dipaksa bekerja di pabrik perakitan drone, mengawasi produksi, atau bahkan menjadi petugas kebersihan.

Kondisi kerja di pabrik tersebut sangat berbahaya. Para perempuan muda ini terpapar bahan-bahan kimia yang mengancam kesehatan. Bahkan, menurut pengakuan Chinara, pekerja asal Rusia sendiri tidak betah bekerja di sana karena risiko yang terlalu tinggi. Pabrik tempat mereka bekerja merupakan bagian dari zona ekonomi khusus Alabuga, yang menjadi pusat produksi utama drone Geran-2, tiruan dari Shahed 136 buatan Iran. Drone-drone ini memainkan peran penting dalam serangan Rusia ke Ukraina.

Zona ekonomi Alabuga didirikan pada tahun 2006 dengan tujuan menarik investasi ke wilayah Tatarstan. Namun, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, fasilitas ini berkembang pesat dan sebagian dialihfungsikan menjadi produksi militer. Di tengah kelangkaan tenaga kerja di Rusia, perekrutan pekerja migran dari negara-negara berkembang semakin gencar dilakukan. Data menunjukkan peningkatan signifikan jumlah pekerja asal Afrika yang datang ke Rusia pada tahun 2024, terutama dari Kamerun, Nigeria, Burkina Faso, Togo, Republik Afrika Tengah, dan Gambia.

Studi yang dilakukan oleh Global Initiative against Transnational Organized Crime mengungkapkan bahwa program Alabuga Start menargetkan perempuan muda berusia 18 hingga 22 tahun dari negara-negara Afrika. Program ini kemudian diperluas ke negara-negara berkembang lainnya di Asia dan Amerika Latin. Julia Stanyard, salah seorang peneliti yang terlibat dalam studi tersebut, mengungkapkan bahwa anak perempuan berusia 16 tahun juga dipekerjakan di fasilitas pelatihan Politeknik Alabuga yang berada di lokasi produksi drone. Mereka dipaksa bekerja berjam-jam dengan bahan kimia berbahaya di bawah pengawasan ketat manajemen Alabuga.

Para orang tua di Zimbabwe mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap anak-anak mereka yang mendaftar secara online dan berangkat ke Rusia dengan biaya ditanggung oleh Alabuga. Mereka mengeluhkan kondisi kerja paksa yang dialami anak-anak mereka, pembatasan komunikasi, penyitaan paspor, dan upah yang tidak sesuai dengan janji. Beberapa negara, seperti Kenya, Uganda, dan Tanzania, mulai menyadari risiko program ini dan telah meluncurkan penyelidikan. Interpol juga turun tangan menyelidiki dugaan keterlibatan Alabuga Start dalam perdagangan manusia di Botswana.