Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia Menyerukan G7 untuk Memprioritaskan Keadilan dalam Rantai Pasok Mineral Kritis

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menyampaikan seruan mendesak kepada negara-negara anggota G7. Dalam momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang berlangsung di Kanada, kedua organisasi tersebut menyoroti pentingnya keadilan, keberlanjutan, dan perlindungan masyarakat adat dalam industri pertambangan mineral kritis.

AEER dan WALHI Sulsel menilai bahwa Five-Point Plan yang berfokus pada keamanan pasokan mineral kritis, sebagaimana yang diluncurkan di Sapporo, Jepang pada tahun 2023, belum memadai untuk menjamin keberlanjutan yang sesungguhnya. Rencana tersebut mencakup berbagai aspek, di antaranya:

  • Rencana jangka menengah dan panjang,
  • Rantai pasok yang bertanggung jawab dan diversifikasi,
  • Daur ulang dan sirkularitas,
  • Inovasi dan substitusi teknologi,
  • Kesiapsiagaan gangguan pasokan.

Namun, menurut kedua organisasi, Five-Point Plan tersebut belum secara komprehensif memasukkan aspek keadilan sosial dan lingkungan.

Indonesia, sebagai negara yang memiliki peran strategis dalam produksi mineral kritis, khususnya nikel, menghadapi dampak signifikan akibat aktivitas pertambangan. Rahmat Kottir, Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulawesi Selatan, dalam konferensi pers yang bertajuk “Sorotan dari Indonesia untuk KTT G7”, menyoroti adanya perampasan tanah milik masyarakat adat dan lokal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tengah melakukan ekspansi.

Selain konflik agraria, dampak lingkungan juga menjadi perhatian utama. Penggunaan energi kotor, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, dalam proses produksi nikel menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Hal ini menyebabkan pencemaran air dan udara, serta degradasi lingkungan yang berdampak langsung pada masyarakat di sekitar wilayah pertambangan dan industri nikel.

Koordinator AEER, Pius Ginting, menyoroti dampak pertambangan nikel di Sulawesi dan Halmahera yang menyebabkan deforestasi besar-besaran dan pencemaran air akibat tailing HPAL (High-Pressure Acid Leaching) serta sedimentasi tambang. Dari sisi sosial, praktik kriminalisasi terhadap warga dan represi terhadap aksi protes juga menjadi isu yang mendesak untuk diatasi.

Menanggapi permasalahan ini, AEER dan WALHI Sulsel mendesak negara-negara G7 dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok nikel untuk mengambil langkah-langkah konkret, yaitu:

  • Menyusun dan memperkuat kebijakan uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai pasok mineral kritis.
  • Menghentikan penggunaan energi fosil, baik batu bara maupun gas, dalam proses produksi nikel dan mineral strategis lainnya.
  • Mendorong perusahaan industri nikel asal G7 menjadi pelopor dalam pengembangan energi terbarukan di kawasan industri nikel.
  • Menetapkan kuota penggunaan nikel oleh negara G7 dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya rusak lingkungan.

Kedua organisasi tersebut menekankan bahwa transisi energi untuk menanggulangi krisis iklim tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan di negara-negara penghasil mineral, seperti Indonesia. Negara-negara maju memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa transisi ini dilakukan secara adil dan berkelanjutan.