Kepulauan Riau Diminta Belajar dari Raja Ampat: Prioritaskan Pariwisata Bahari Berkelanjutan daripada Eksploitasi Tambang
Indonesia bagian timur menyampaikan pesan penting mengenai Raja Ampat, sebuah surga dunia yang terancam oleh ambisi pertambangan nikel. Raja Ampat bukan hanya sekadar wilayah geografis, melainkan rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan simbol harmoni antara manusia dan alam. Pesan ini sangat relevan bagi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang 96% wilayahnya adalah lautan.
Kepri memiliki kesamaan dengan Raja Ampat, yaitu ribuan pulau kecil yang indah dan rentan, yang sering kali hanya dilihat sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, bukan sebagai ruang hidup yang harus dilestarikan. Sebagai provinsi dengan garis pantai terpanjang dan jumlah pulau terbanyak di Indonesia, Kepri memiliki 2.408 pulau besar dan kecil. Namun, banyak pulau di Kepri menghadapi tekanan dari model pembangunan ekstraktif, terutama pertambangan pasir, kuarsa, dan bauksit. WALHI Kepri mencatat lebih dari 60 lubang tambang ilegal yang menganga di Bintan, belum direklamasi, merusak pesisir, dan menyebabkan abrasi serius. Aktivitas tambang pasir laut juga menurunkan hasil tangkapan nelayan hingga 30% dalam lima tahun terakhir. Beberapa pemukiman pesisir di Pulau Bintan bahkan terdampak langsung oleh abrasi akibat tambang.
Larangan aktivitas tambang di pulau kecil (rentan) ditegaskan secara hukum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km persegi, jika merusak daya dukung lingkungan dan mengganggu ekosistem pesisir. Ketentuan ini berlaku secara nasional dan seharusnya menjadi pedoman bagi semua kepala daerah, termasuk di Kepri. Keuntungan dari aktivitas pertambangan seringkali dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki izin dan akses kuasa, bukan oleh nelayan atau masyarakat pulau.
Ironisnya, Kepri memiliki potensi ekonomi yang jauh lebih berkelanjutan melalui pariwisata bahari. Sebelum pandemi, Kepri merupakan destinasi wisata mancanegara ketiga terbanyak setelah Bali dan Jakarta. BPS Kepri mencatat lebih dari 1,1 juta wisatawan mancanegara datang ke Kepri, tertarik oleh wisata alam, snorkeling, dan kekayaan budaya maritim. Pulau-pulau seperti Penyengat, Nikoi, Benan, Senua, dan Berhala sering disebut sebagai destinasi dengan daya tarik khas. Namun, banyak wilayah ini terancam oleh rencana tambang atau stagnasi akibat minimnya infrastruktur antar pulau.
Studi KKP & UNDP (2022) menunjukkan bahwa potensi ekonomi biru Kepri bisa mencapai Rp 6–8 triliun per tahun, terutama dari sektor wisata berkelanjutan, budidaya laut, dan konservasi. Jumlah ini bahkan melebihi APBD Kepri tahun 2024 yang tercatat sekitar Rp 4 triliun. Oleh karena itu, Kepri seharusnya fokus pada pengembangan sektor pariwisata bahari yang berkelanjutan, bukan pada eksploitasi sumber daya alam yang merusak dan tidak terbarukan.
Alih-alih menggali isi perut bumi, Kepri seharusnya memperkuat konektivitas antar wilayah. Letaknya yang strategis di jantung Segitiga Emas Kepri–Singapura–Malaysia adalah peluang besar untuk menjadikan provinsi ini sebagai hub wisata dan logistik kelautan. Investasi pada pelabuhan rakyat, sistem transportasi laut terintegrasi, dan digitalisasi informasi wisata akan memberikan manfaat jangka panjang. Masa hidup tambang pasir hanya beberapa tahun dan meninggalkan lubang. Konektivitas adalah kunci investasi dalam pembangunan. Kita butuh paradigma pembangunan regeneratif, bukan ekstraktif. Tidak semua yang ada di bawah tanah harus diangkat atau ditambang. Sebagian harus tetap tinggal—demi kehidupan jangka panjang. Mindset pembangunan yang ekstraktif terlalu sering meninggalkan luka dibanding manfaat yang biasanya diperoleh jangka pendek.
Jika Raja Ampat bersuara atas nama ekologi dan keberlanjutan, maka Kepri seharusnya menjadi pendengar yang bijak. Kita sudah melihat cukup banyak jejak tambang yang meninggalkan luka: lubang-lubang menganga, laut yang keruh, kehidupan desa pesisir yang makin sulit dan pelan-pelan ditinggalkan oleh generasi mudanya. Keserakahan akan selalu memotivasi pembangunan yang tidak peduli pada keberlanjutan. Raja Ampat memberikan pesan bahwa warisan atau berkah alam tidak selalu harus ditambang. Kadang, menjaga dan merawatnya justru memberikan lebih banyak manfaat daripada yang bisa dihitung dalam rupiah. Kepri memiliki alasan kuat untuk menjadi contoh pembangunan yang sadar laut, sadar ruang, dan sadar masa depan.