Penanganan Sampah Plastik di Pasar Tradisional Bali Terhambat Kebiasaan Konsumen dan Pedagang
Pemerintah Provinsi Bali menghadapi tantangan signifikan dalam upaya menanggulangi permasalahan sampah plastik di pasar-pasar tradisional. Kebiasaan masyarakat, baik pedagang maupun pembeli, yang masih mengandalkan kantong plastik sekali pakai menjadi faktor utama penghambat efektivitas program pengelolaan sampah.
Dr. Luh Riniti Rahayu, Koordinator Tim Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai (PSP) dan Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber (PSBS) Provinsi Bali, mengungkapkan bahwa penanganan sampah plastik di pasar tradisional merupakan area yang paling sulit diintervensi. "Kesulitan utama terletak pada kebiasaan penggunaan plastik yang sudah mendarah daging di pasar tradisional. Hampir semua aktivitas di pasar bergantung pada plastik," ujarnya.
Di Bali sendiri, terdapat sekitar 320 pasar tradisional. Permasalahan yang ada semakin kompleks dengan masih mudahnya kantong plastik sekali pakai ditemukan di pasaran. Selain itu, pengawasan yang kurang berkelanjutan dan kesulitan dalam mengubah perilaku masyarakat di pasar, termasuk pedagang dan pembeli, turut memperparah situasi.
Berbeda dengan pasar modern, pusat perbelanjaan, dan minimarket yang sudah mulai menerapkan penggunaan kantong non-plastik, pasar tradisional masih jauh tertinggal. "Kami tidak sepenuhnya anti-plastik, namun fokus kami adalah pada pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Kenyataannya, tingkat kepatuhan terhadap aturan pembatasan plastik masih sangat rendah, contohnya di Pasar Sanglah dan Pasar Badung di Denpasar," tegas Riniti.
Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai sebenarnya telah mengatur pembatasan penggunaan plastik sekali pakai di Bali. Namun, implementasinya belum berjalan optimal.
Sebagai solusi sementara, sebelum ditemukan alternatif pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan, masyarakat diimbau untuk membawa tas belanja sendiri saat berbelanja ke pasar.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, sebelumnya menyatakan bahwa Pergub 97/2018 telah berhasil diimplementasikan di pasar modern, pusat perbelanjaan, hotel, dan restoran. Namun, implementasinya masih menemui kegagalan di pasar tradisional. "Di pasar tradisional, komitmen terhadap pengurangan penggunaan plastik terlihat menurun. Penggunaan tas kresek justru semakin meningkat," ungkap Koster.
"Kita harus meningkatkan intensitas pengawasan dan bekerja lebih keras lagi. Dalam upaya pembatasan penggunaan plastik sekali pakai ini, kita harus tegas dan tidak ada kompromi," pungkasnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya penanganan sampah plastik di pasar tradisional Bali:
- Kebiasaan pedagang dan pembeli menggunakan plastik sekali pakai.
- Ketersediaan plastik sekali pakai yang masih tinggi.
- Kurangnya pengawasan yang berkelanjutan.
- Sulitnya mengubah perilaku masyarakat.
Pemerintah Provinsi Bali terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi permasalahan sampah plastik di pasar tradisional. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain:
- Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan plastik sekali pakai.
- Mengedukasi masyarakat tentang bahaya sampah plastik.
- Mendorong penggunaan alternatif pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan.
- Memberikan insentif kepada pedagang yang mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.