Perseteruan Perbatasan Memanas: Kamboja Ancam Boikot Produk Thailand, Thailand Perketat Keamanan
Ketegangan di sepanjang perbatasan Thailand dan Kamboja mencapai titik didih baru-baru ini, dipicu oleh serangkaian tindakan saling balas yang meningkatkan kekhawatiran akan konflik yang lebih luas.
Pemicunya adalah bentrokan bersenjata pada 28 Mei 2025, yang menewaskan seorang tentara Kamboja di zona netral yang disengketakan. Insiden ini memicu eskalasi diplomatik yang cepat, dengan kedua belah pihak saling menyalahkan atas kekerasan tersebut.
Thailand, sebagai tanggapan, memberlakukan blokade di sejumlah pos perbatasan, dengan alasan masalah keamanan. Langkah ini memicu pembalasan dari Kamboja, yang mengumumkan akan menghentikan impor sejumlah barang dari Thailand, termasuk listrik, bandwidth internet, dan produk-produk pertanian. Bahkan stasiun televisi lokal diperintahkan untuk tidak lagi menayangkan film-film Thailand.
Presiden Senat Kamboja, Hun Sen, dalam pidato yang disiarkan televisi, secara eksplisit menyatakan bahwa larangan impor buah dan sayur Thailand akan diberlakukan jika Thailand tidak mencabut pembatasan perbatasan. Sementara itu, Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, mempertahankan tindakan negaranya, dengan alasan peningkatan keamanan di wilayah perbatasan dan memperingatkan bahwa komunikasi di luar jalur bilateral hanya akan memperburuk keadaan.
Upaya untuk meredakan ketegangan melalui dialog terbukti tidak membuahkan hasil. Pertemuan yang diadakan di Phnom Penh antara pejabat dari kedua negara gagal menghasilkan terobosan signifikan dalam menyelesaikan perselisihan yang mendasari klaim wilayah.
Kamboja Ajukan Sengketa ke Mahkamah Internasional
Menyusul kebuntuan diplomatik, Kamboja mengambil langkah signifikan dengan secara resmi mengajukan permohonan ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 15 Juni. Permohonan tersebut meminta ICJ untuk menyelesaikan sengketa perbatasan yang melibatkan empat wilayah yang disengketakan, termasuk lokasi bentrokan baru-baru ini dan tiga kompleks kuil kuno bersejarah.
Hun Sen menegaskan bahwa tindakan hukum ini diambil sebagai upaya untuk mencari solusi damai atas konflik yang telah berlangsung lama. Ia menuduh Thailand menolak upaya penyelesaian bersama dan menekankan perlunya membawa masalah ini ke pengadilan internasional karena kurangnya kesepakatan mengenai wilayah yang disengketakan.
Sejauh ini, Kementerian Luar Negeri Thailand belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait langkah Kamboja ini.
Seruan Pemulangan Pekerja Migran
Dalam perkembangan terpisah, Hun Sen mendesak puluhan ribu pekerja migran Kamboja di Thailand untuk segera kembali ke tanah air. Ia menyampaikan kekhawatiran tentang potensi peningkatan diskriminasi di tengah memburuknya hubungan bilateral dan menyoroti risiko yang mungkin dihadapi para pekerja migran.
Akar Sejarah Sengketa
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja berakar pada era kolonial Prancis, ketika demarkasi garis batas sepanjang 800 kilometer di kawasan Indocina tidak pernah sepenuhnya disepakati. Perselisihan atas empat wilayah strategis yang disengketakan muncul pada awal abad ke-20 dan terus membara hingga saat ini.
ICJ sebelumnya telah terlibat dalam sengketa ini, dengan mengeluarkan putusan pada tahun 1962 yang memutuskan bahwa kuil Preah Vihear milik Kamboja. Pada tahun 2013, ICJ menguatkan putusan ini dan menyerahkan wilayah sekitarnya ke Kamboja. Namun, Thailand menolak menerima putusan tersebut sepenuhnya, memilih penyelesaian bilateral, sehingga mempertahankan ketegangan.
Konflik terkait sengketa perbatasan ini telah merenggut nyawa sedikitnya 28 orang sejak tahun 2008, sebagian besar akibat bentrokan militer di zona sengketa.