DPR Soroti 'Senjata' Mahkamah Konstitusi dalam Pembatalan Undang-Undang
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkapkan kekhawatiran terkait potensi pembatalan undang-undang yang telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan kelelahannya jika produk legislasi yang telah dibahas secara mendalam akhirnya dibatalkan oleh lembaga yudikatif tersebut.
Hal ini diungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Habiburokhman menyoroti tiga aspek yang dianggap sebagai 'senjata' MK, yang tergabung dalam konsep meaningful participation atau partisipasi bermakna. Aspek-aspek tersebut meliputi:
- Hak untuk Didengar (Right to be Heard): Pendapat dan aspirasi berbagai pihak harus didengarkan secara seksama selama proses penyusunan undang-undang.
- Hak untuk Dipertimbangkan (Right to be Considered): Pendapat yang telah disampaikan harus benar-benar dipertimbangkan dan dianalisis sebelum undang-undang disahkan.
- Hak untuk Diberikan Penjelasan (Right to be Explained): Alasan dan pertimbangan yang mendasari setiap pasal dalam undang-undang harus dijelaskan secara transparan kepada publik.
Habiburokhman menekankan bahwa ketiga prinsip ini menjadi standar dalam mengukur keabsahan proses legislasi. DPR memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa ketiga prinsip tersebut terpenuhi dalam setiap tahapan penyusunan undang-undang. Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi publik dalam pembahasan revisi KUHAP, dengan tujuan untuk mencegah pembatalan oleh MK di kemudian hari.
Anggota Komisi III DPR, Hasbiallah Ilyas, menambahkan bahwa revisi KUHAP ditargetkan selesai sebelum Januari 2026. Ia menegaskan bahwa proses pembahasan revisi KUHAP terus berjalan di parlemen. Pimpinan DPR juga telah memberikan izin untuk menggelar rapat dengar pendapat dan pembahasan RKUHAP selama masa reses. Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menyatakan bahwa penyelesaian KUHAP menjadi prioritas, mengingat dampaknya terhadap berbagai aspek hukum.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menekankan urgensi penyelesaian RKUHAP pada tahun 2025. Hal ini dikarenakan KUHAP memiliki keterkaitan erat dengan pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Ia menyatakan bahwa pengesahan RUU KUHAP pada tahun 2025 menjadi suatu keharusan karena implikasinya yang signifikan terhadap KUHP.