Peradi Soroti Potensi Bias dalam Penerimaan Keterangan Ahli di RUU KUHAP

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyuarakan kekhawatiran terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), khususnya mengenai kedudukan dan penerimaan keterangan ahli dalam proses peradilan. Peradi berpendapat, jika keterangan ahli tetap diatur sebagai bagian dari alat bukti dalam KUHAP, maka implikasinya harus jelas, yaitu hakim wajib mempertimbangkan dan terikat pada keterangan tersebut.

Wakil Ketua Peradi, Sapriyanto Refa, menjelaskan bahwa permasalahan yang muncul selama ini adalah ketidaksetaraan dalam penerimaan keterangan ahli. Menurutnya, keterangan ahli seringkali diajukan dari dua pihak yang berkepentingan, yaitu pihak tersangka/terdakwa dan pihak korban. Namun, dalam praktiknya, hakim cenderung lebih mempertimbangkan keterangan ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sementara keterangan ahli yang diajukan oleh penasihat hukum atau pembela seringkali diabaikan atau tidak diterima.

"Selama ini, bagi kami, pengajuan ahli dari pihak tersangka menjadi sebuah dilema," ungkap Sapriyanto Refa. Ia menambahkan, meskipun Peradi mengajukan ahli sebagai bagian dari alat bukti yang sah sesuai KUHAP, dalam implementasinya, keterangan ahli yang diajukan oleh tim pembela hampir selalu ditolak. Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan dan merugikan pihak yang dibela.

Peradi menekankan, jika keterangan ahli diakui sebagai alat bukti, seharusnya hakim memiliki kewajiban untuk mempertimbangkannya secara serius. Namun, dalam praktik yang terjadi selama ini, hakim memiliki kebebasan untuk tidak terikat pada keterangan ahli. Inilah yang diperjuangkan oleh Peradi. Mereka berpendapat, jika keterangan ahli tetap ingin dimasukkan sebagai alat bukti, harus ada dasar hukum yang jelas yang mewajibkan hakim untuk terikat pada alat bukti tersebut.

Sebelumnya, Peradi bahkan mengusulkan agar keterangan ahli dan bukti petunjuk dihapuskan dari RUU KUHAP. Usulan ini didasari oleh kekhawatiran Peradi terhadap potensi penyalahgunaan bukti petunjuk. Mereka menilai bukti petunjuk sangat berbahaya karena dapat digunakan untuk memengaruhi keyakinan hakim, terutama dalam situasi di mana alat bukti lain tidak secara langsung menunjukkan siapa pelaku tindak pidana.

Alasan Penghapusan Bukti Petunjuk

Berikut adalah alasan Peradi mengusulkan penghapusan bukti petunjuk:

  • Potensi Penyalahgunaan: Bukti petunjuk dinilai rawan disalahgunakan karena bersifat interpretatif dan dapat memengaruhi keyakinan hakim secara subjektif.
  • Ketidakjelasan Hubungan dengan Fakta: Bukti petunjuk seringkali tidak memiliki hubungan langsung dengan fakta kejadian, sehingga dapat menyesatkan hakim dalam mengambil keputusan.
  • Rentan terhadap Rekayasa: Bukti petunjuk lebih mudah direkayasa atau dimanipulasi dibandingkan alat bukti lain seperti saksi atau bukti fisik.

Dengan adanya kekhawatiran ini, Peradi menganggap lebih baik jika keterangan ahli disampaikan dalam bentuk tertulis saja, dan bukti petunjuk dihapuskan demi menghindari potensi ketidakadilan dalam proses peradilan pidana. Peradi berupaya menjamin proses peradilan yang adil dan berimbang bagi semua pihak.