Sengketa Empat Pulau: Presiden Prabowo Tentukan Status Administrasi Aceh Berdasarkan Dokumen Historis

Polemik mengenai status administratif empat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, akhirnya mencapai titik terang. Presiden Prabowo Subianto memutuskan bahwa secara administratif, keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh.

Keputusan ini diambil setelah rapat penting yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan pemerintah didasarkan pada dokumen-dokumen resmi yang dimiliki.

Landasan Hukum Keputusan Presiden

Pemerintah merujuk pada dua dokumen utama sebagai dasar pengambilan keputusan:

  • Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh tahun 1992.
  • Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 111 tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Propinsi Daerah Istimewa Aceh tertanggal 24 November 1992.

Kesepakatan Bersama yang ditandatangani oleh Muzakir Manaf dan Bobby Nasution, serta disaksikan oleh Tito Karnavian dan Prasetyo Hadi, secara tegas menyatakan bahwa keempat pulau tersebut termasuk dalam cakupan wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Sayangnya, kedua dokumen tersebut tidak dapat diakses secara publik melalui laman resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) milik Kemendagri.

Koreksi Kepmendagri Kontroversial

Anggota DPR asal Aceh, Nasir Djamil, mengemukakan bahwa keputusan Presiden Prabowo merupakan koreksi terhadap Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ia menilai keputusan presiden sebagai langkah bijaksana untuk meredakan potensi ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama antara Aceh dan Sumatera Utara.

Nasir Djamil menambahkan, intervensi presiden bertujuan untuk mendinginkan suasana dan menghindari konflik yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Presiden Prabowo tidak memiliki kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan ini.

Peran Perjanjian Helsinki

Sebelumnya, Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla, sempat menyinggung Perjanjian Helsinki terkait sengketa pulau ini. Ia menjelaskan bahwa Perjanjian Helsinki mengatur perbatasan Aceh yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

Jusuf Kalla menekankan bahwa poin 1.1.4 dalam Perjanjian Helsinki secara jelas menyatakan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 sendiri meresmikan Provinsi Aceh beserta kabupaten-kabupaten yang ada di dalamnya.

Dengan keputusan ini, diharapkan polemik mengenai status administratif keempat pulau tersebut dapat diselesaikan secara damai dan sesuai dengan dasar hukum yang berlaku.