Ekonom Unair Soroti Metode Penghitungan Kemiskinan di Indonesia yang Dianggap Usang
Perbedaan data kemiskinan antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) memicu diskusi tentang metodologi yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan di Indonesia. Bank Dunia baru-baru ini menaikkan ambang batas kemiskinan global, yang secara teoritis meningkatkan persentase penduduk miskin di Indonesia dari 15,6 persen menjadi 19,9 persen. Sementara itu, data resmi BPS menunjukkan angka yang lebih rendah, yaitu 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa pada September 2024. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang akurasi dan relevansi standar kemiskinan yang saat ini digunakan.
Profesor Rossanto Dwi Handoyo, seorang pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair), berpendapat bahwa standar kemiskinan yang digunakan BPS sudah perlu ditinjau ulang. Ia menjelaskan bahwa BPS saat ini menghitung kemiskinan berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar, yang dibagi menjadi kebutuhan makanan dan non-makanan. Kebutuhan makanan diukur dengan standar minimal 2.100 kalori, sedangkan kebutuhan non-makanan meliputi sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Rossanto berpendapat bahwa standar 2.100 kalori untuk kebutuhan makanan sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Menurutnya, perhitungan garis kemiskinan seharusnya berfokus pada bagaimana seseorang dapat hidup dengan layak, bukan hanya sekadar bertahan hidup. Ia menekankan bahwa hidup miskin namun tidak layak sama saja dengan menuju kematian.
Oleh karena itu, Rossanto mendesak pemerintah untuk meningkatkan standar garis kemiskinan. Alih-alih menghitung dengan cara yang minimalis, pemerintah harus menetapkan standar kehidupan miskin yang lebih manusiawi. Dengan demikian, seseorang yang dikategorikan miskin tetap dapat hidup dalam kondisi yang layak.
Ia juga menyoroti perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Saat ini, kebutuhan non-makanan seperti akses internet telah menjadi kebutuhan penting untuk tetap terhubung dengan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak indikator lain yang perlu dipertimbangkan dan ditingkatkan dalam penghitungan standar garis kemiskinan.
Rossanto menekankan bahwa pemerintah tidak perlu ragu untuk mengubah standar kemiskinan demi menghasilkan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Ia berpendapat bahwa jika Indonesia ingin menjadi negara yang berkeadilan sosial, maka penanganan masalah kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif. Pemerintah tidak boleh bangga menjadi negara berpendapatan menengah ke atas namun memperlakukan warganya seolah-olah berada di negara berpendapatan rendah.
Berikut beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan:
- Standar Kalori: 2.100 kalori sebagai standar kebutuhan makanan dinilai tidak lagi relevan.
- Kebutuhan Non-Makanan: Akses internet dan kebutuhan modern lainnya perlu dimasukkan dalam perhitungan.
- Standar Hidup Layak: Fokus pada standar hidup yang layak, bukan hanya sekadar bertahan hidup.
Perubahan standar ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi kemiskinan di Indonesia dan memungkinkan pemerintah untuk merancang kebijakan yang lebih efektif dan tepat sasaran.